Home » » Sisi Lain Dari Redenominasi Rupiah

Sisi Lain Dari Redenominasi Rupiah

Written By Unknown on Friday, 1 February 2013 | 02:01

Isu redenominasi rupiah atau menyederhanakan nilai mata uang rupiah kian santer beritanya belakangan ini di media-media nasional. Keinginan Bank Indonesia (BI) ini sepertinya sudah final dan saat ini sudah mulai tahap untuk sosialisasi, walaupun isu ini sebenarnya masih kontroversial karena ada pro dan kontra di masyarakat. Dari pihak BI dan yang pro kebijakan BI ini, telah memberikan penjelasan tentang keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari redenominasi rupiah. Oleh karena itu mari kita coba melihat redenominasi rupiah dari sisi yang lain, sehingga kita bisa membandingkan klaim dari pihak-pihak yang pro kebijakan BI ini.

Tulisan di bawah ini aslinya bisa dilihat milis Tionghoa-net (T-net) atau FB Tionghoa Indonesia yang ditulis oleh pimpinan T-net sendiri dan juga adalah seorang Dosen Paca Sarjana bidang Ekonomi.

REDENOMINASI RUPIAH DARI SISI LAIN

Oleh Dr.Antonius Herry Antono

Ada seorang teman yang bertanya kepada saya tentang redenominasi rupiah yang belakaingan ini hangat dibicarakan lagi. Pertanyaannya adalah:
- Pertama: apakah perbedaan antara sanering dan redenominasi dan
- Kedua: apakah benar apa yang dikatakan pemerintah bahwa redenominasi tidak akan menimbulkan goncangan terhadap perekonomian.

PERBEDAAN SANERING DAN REDENOMINASI
Sanering tidak sama dengan redenominasi. Sanering intinya adalah pinjaman pemerintah kepada rakyat / masyarakat, dengan cara memotong nilai uang yang beredar secara langsung. Jadi semacam obligasi yang dipaksakan. Misalnya uang Rp.1.000 dipotong dengan gunting, di mana yang masih dapat dipergunakan adalah potongan uang yang sebelah kanan dengan nilai setengahnya atau Rp.500, dan potongan yang sebelah kiri disimpan sebagai bukti pinjaman pemerintah tsb. Kelak, sesuai dengan waktu yang dijanjikan pemerintah, potongan uang yang sebelah kiri ini bisa ditukar kembali dengan uang yang sah dengan nilai yang sama + bunganya.

Sedangkan redenominasi adalah merubah nominal mata uang dengan satuan yang lebih besar, sehingga nilai nominalnya menjadi lebih kecil. Misalnya Rp.1.000 uang lama diganti dengan Rp.1 uang baru, atau misalnya rupiah diganti dengan dolar Amerika. Di atas kertas, secara teoritis penggantian ini tidak akan merubah harga barang dan jasa, karena hanya merubah nominal pecahan mata uang tanpa merubah nilai belinya. Atau dengan kata lain, redenominasi di atas kertas secara teoritis tidak akan menimbulkan efek sistemik terhadap ekonomi dan moneter suatu negara. Apakah prakteknya benar seperti itu?

SANERING DI INDONESIA.
Pemerintah Indonesia pernah melakukan sanering sebanyak 2 kali, yaitu Sanering Potong Pinggang pada tahun 1950 dan Sanering Gajah Macan pada tahun 1959. Disebut Sanering Potong Pinggang, karena uang yang beredar dari pecahan terbesar secara fisik digunting menjadi 2 bagian sehingga disebut potong pinggang, karena bagi pemilik uang ybs tindakan ini ibarat dipotong pinggangnya. Pecahan yang lebih kecil tidak dipotong karena pemegangnya umumnya rakyat kecil, sedangkan pemegang uang pecahan terbesar umumnya hanya orang2 kaya saja. Tapi usaha ini tampaknya tidak bisa mengatasi masalah keuangan pemerintah, terbukti tahun 1959 pemerintah sekali lagi melakukan sanering.

Sanering yang dilakukan pemerintah tahun 1959 disebut Sanering Gajah Macan, karena lembaran uang dengan pecahan terbesar yang bergambar gajah di sebelah kiri dan macan disebelah kanan, sekali lagi benar2 dipotong. Yang bisa dipakai untuk transaksi hanya potongan yang bergambar macan saja dengan nilai separuhnya. Sedangkan potongan yang bergambar gajah disimpan oleh pemiliknya, di mana 20 tahun kemudian potongan uang tsb dapat ditukarkan dengan uang yang kelak beredar dengan ditambah bunganya. Prakteknya, ketika tahun 1979 potongan uang bergambar gajah tsb ditukarkan ke bank, nilainya benar2 sudah tidak ada artinya, karena Rp.1.000 UL (uang lama) diganti dengan Rp.1 UB (uang baru).

REDENOMINASI DAN INFLASI DI INDONESIA
Tahun 1966, dengan alasan mata uang rupiah terlalu besar angka nominalnya, pemerintah Orde Baru melakukan redenominasi rupiah di mana pecahan Rp.1.000 UL (uang lama) ditukar dengan Rp.1 UB (uang baru). Saat itu pemerintah juga mengumumkan bahwa penggantian mata uang ini tdak akan merubah harga2, karena dengan penggantian uang ini pedagang maupun pembeli tidak ada yang dirugikan. Namun prakteknya benar2 jauh panggang dari api. Dalam waktu singkat harga barang2 melonjak secara drastis, karena para pedagang beranggapan bahwa harga2 barang dan jasa (dalam UB) terlalu murah. Masyarakat tidak bisa menerima bahwa Rp.1 UB nilainya sama dengan Rp.1.000 UL.

Saya ingat benar, saat penggantian mata uang tsb akhir tahun 1966, seorang teman yang berasal dari kota lain harus membayar uang kost sebesar Rp.2.500 UL. Setelah penggantian uang tsb, sewa kost cukup dengan 1 lembar pecahan Rp.2,50 UB atau dulu populer dengan istilah seringgit. Namun sekitar setahun kemudian, teman tsb mengeluh bahwa uang kost dia sekarang sudah Rp.10 UB. Sedangkan sewa kost saat ini yang sama dengan kondisi tempat kost di atas minimal Rp.500.000 / bulan atau dalam waktu 46 tahun uang kost tsb meningkat 200.000 kali dari uang kost tahun 1966.

Pertengahan tahun 1966, teman yang lain membeli Vespa seharga Rp.1.500.000 UL, karena saat itu belum ada redenominasi rupiah. Redenominasi rupiah baru dilakukan akhir tahun 1966. Kalau tidak ada kenaikan harga, berarti setelah penggantian mata uang, harga Vespa tsb = Rp.1.500 UB. Saya tidak tahu, berapa harga Vesa baru sekarang, tapi yang pasti lebih dari Rp.15.000.000. Dengan harga Rp.15.000.000 saja, berarti harga Vespa selama 46 tahun, sejak 1966 s/d 2012, sudah meningkat sebanyak 10.000 kali.

Tahun 1970 seorang pekerja di pabrik textile di Bandung dengan pendidikan SMA, rata2 menerma gaji sebesar Rp.7.500 sebulan. Tapi untuk bisa membeli Vespa baru saat itu, pekerja tsb harus puasa minimal selama setengah tahun. Kalau UMK di Bandung sekarang = Rp.1.750.000, berarti UMK telah naik sebanyak 233 kali untuk jangka waktu 42 tahun. Dari contoh ini sudah jelas, bagaimana rakyat tidak menjerit kalau UMK hanya naik 233 kali dalam jangka waktu 42 tahun, sedangkan harga Vespa naik 10.000 kali dan biaya sewa / kost naik 200.000 kali untuk jangka waktu 46 tahun.

REDENOMINASI DAN INFLASI DI EROPA
Tahun 1993, di beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam European Union, telah dilakukan penggantian mata uang lokal masing2 negara dengan mata uang bersama Euro. Penggantian mata uang ini dapat disamakan dengan redenominasi, hanya nama mata uangnya ikut diganti. Nilai tukar EUR saat mulai penggantian tsb disamakan dengan USD, sehingga nilai tukar mata uang lokal terhadap EUR = nilai tukar terhadap USD. Di atas kertas, penggantian ini tidak menimbulkan masalah apapun, hanya mengganti nama mata uang saja sedangkan nilainya sudah diperhitungkan akan tetap sama. Tapi apa yang terjadi kemudian?

Negara2 Eropa Barat yang ekonominya relatif kuat seperti Belanda, nyatanya tidak mampu mencegah inflasi akibat efek sistemik yang timbul dari efek psychologis negatif dari penggantian mata uang tsb. Sebelum penggantian gulden dengan EUR, seorang teman pernah berkata bahwa biaya potong rambut di Belanda adalah NLF.10. Kemudian gulden diganti EUR dengan kurs EUR.1 = NLF.2.2, sehingga biaya cukur harusnya menjadi EUR 4.55. Tapi apa yang terjadi? Biaya cukur tsb dalam waktu singkat kembali menjadi EUR.10, sama seperti harga dalam NLF.

Bukan hanya biaya cukur atau biaya jasa saja yang melonjak, harga2 barang juga melonjak meskipun tidak sedrastis kenaikan harga jasa. Teman tsb juga bercerita, bahwa dulu uang pensiunnya sebesar NLF.7.000 sebulan lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya berdua istrinya. Setelah redenominasi NLF dengan EUR, uang pensiunnya tidak cukup untuk biaya hidup berdua istrinya. Inflasi yang lebih parah terjadi di negara2 Eropa Barat yang ekonominya relatif lemah, seperti Italia, Yunani, Portugis, dan Spanyol yang efeknya terbawa terus sampai sekarang.

EFEK SISTEMIK DARI REDENOMINASI
Di atas kertas, seharus penggantian mata uang lokal negara2 anggota European Union tsb dengan mata uang bersama EUR, tidak menimbulkan inflasi. Tapi kenapa terjadi inflasi yang demikian tinggi? Tidak lain akibat efek sistemik yang timbul dari efek psychologist negatif masyarakat yang dimanfaatkan oleh para spekulan pasar uang, yang melihat hal ini sebagai peluang besar. Dengan sedikit permainan di pasar uang, ditambah dengan hembusan isu bahwa mata uang baru akan jatuh, maka masyarakat akan berbondong-bondong membeli barang kebutuhan sehari-hari sebelum mata uang ybs benar2 jatuh dan harga2 naik drastis. Dengan naiknya permintaan, sementara penawaran masih tetap, otomatis harga akan naik.

Sebelum EUR benar2 jatuh, para pemilik uang akan menukarkan uangnya dengan valuta asing yang dianggap stabil, sehingga Neraca Pembayaran Internasional (International Balance Of Payment) akan deficit dan akibatnya mata uang yang baru tsb akan melemah, disusul dengan harga2 yang akan jadi lebih mahal, terutama barang2 import. Dengan kata lain, penggantian mata uang lokal dengan EUR di Eropa Barat telah menimbulkan efek sistemik terhadap ekonomi dan moneter masing2 negara, sehingga dalam waktu singkat EUR melemah terhadap USD sampai sekitar 20% dengan segala akibat negatif yang ditimbulkannya, terutama harga2 dan biaya hidup. Padahal kondisi ekonomi negara2 Eropa Barat tsb waktu itu lebih baik daripada kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

INKOSISTENSI PEMERINTAH
Sekarang tahun 2012, pemerintah akan mengulangi kembali denominasi rupiah seperti yang pernah dilakukan pemerintah Orde Baru pada awal masa pemerintahannya. Alasan yang dikemukakan pemerintah adalah, perekonomian Indonesia saat ini stabil , situasi politik juga stabil, dan segudang dalih lain yang debatable, yang tidak mungkin akan mencapai titik temu karena tolok ukurnya bersifat kwalitatif tanpa ada patokan yang pasti. Dalam kasus redenominasi rupiah ini, pemerintah optimis tidak akan menimbulkan efek sistemik terhadap ekonomi dan moeneter di Indonesia, karena redenominasi rupiah tsb tidak akan menimbulkan efek psychologis yang negatif terhadap masyarakat.

Disinilah letaknya double stadard pemerintah terhadap kemungkinan timbulnya efek sistemik dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Dalam kasus bank Century, pemerintah berpendapat bahwa kalau bank Century ditutup, akan menimbulkan efek psychologis yang negatif sehingga akan menimbulkan efek sistemik terhadap ekonomi dan moneter Indonesia, padahal porsi bank Century dalam ekonomi dan moneter Indonesia relatif kecil. Sebaliknya, redenominasi rupiah yang akan melibatkan seluruh rakyat Indonesia, pemerintah berpendapat tidak akan menimbulkan efek psychologis yang negatif sehingga tidak akan menimbulkan efek sistemik terhadap ekonomi dan moneter Indonesia.

Bukankah ini ibarat mengatakan bahwa bom high explosive seberat 10 kg, lebih rendah daya rusaknya dibandingkan bom low explosive seberat 2 kg? Yang menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah cq Bank Indonesia harus memaksakan redenominasi rupiah, padahal dari bukti2 yang pernah terjadi redenominasi tsb lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.
Bandung, 9 Desember 2012
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HotSpot Murah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger