JAS MERAH, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah." Demikian ucapan bung Karno pada pidato HUT kemerdekaan RI tahun 1966. Slogan ini nampaknya perlu dicamkan bagi generasi penerus bangsa ini untuk bisa menghargai perjuangan generasi yang lalu untuk mengambil pelajaran supaya bisa menjadi pertimbangan atau acuan meneruskan perjalanan yang sudah dibuat generasi lalu untuk masa yang akan datang. Nampaknya slogan ini berlaku universal untuk semua kalangan di masyarakat termasuk dalam bidang IT dan internet di Indonesia yang punya sejarah penuh cerita tentang pembebasan frekuensi di 2.4 Ghz yang sekarang cukup menjamur untuk digunakan sebagai frekuensi hotspot WiFi.
Di bawah ini adalah kutipan cuplikan singkat sejarah perjuangan kalangan akademisi maupun praktisi IT di Indonesia dalam pembebasan frekuensi 2.4 Ghz di Indonesia dari membayar izin lisensi ke regulator, yang beberapa tahun kemudian (tahun 2011) akhirnya diikuti pula dengan dibebaskannya frekuensi 5.8 Ghz di seluruh wilayah Indonesia.
Pada saat tulisan ini anda baca, barangkali Internet menggunakan radio merupakan hal yang wajar-wajar saja bagi sebagian besar bangsa Indonesia. Anda akan cukup kaget melihat bahwa hal ini akan bertolak belakang sekali dengan kenyataan di luar negeri. Tidak banyak negara di dunia yang mampu untuk mengimplementasi Internet wireless skala besar seperti di Indonesia dengan kecepatan pembangunan sekitar 2000 node baru setiap bulan di tahun 2005.
Menyebarkan Ilmu Internet Murah
Semua ini merupakan hasil sebuah proses panjang mendidik banyak rekan-rekan di Indonesia untuk mampu membuat infrastruktur Internet & telekomunikasinya tanpa banyak di bantu pemerintah, tanpa utangan Bank Dunia, tanpa utangan IMF. Bahkan sialnya lebih banyak di kejar-kejar aparat, polisi dan di ambil peralatannya karena memang pada awalnya sebelum tanggal 5 January 2005, sebagian besar pengguna Internet Wireless di Indonesia memang mencuri frekuensi dan menggunakannya tanpa ijin dari pemerintah sama sekali.
Bahu membahu para pejuang Wireless Internet mengadakan workshop-workshop terutama di organize oleh Michael Sunggiardi & rekan-rekan di tahun 2000-an. Michael Sunggiardi dan Onno W. Purbo berkeliling lebih dari 30 kota dalam waktu beberapa bulan dengan di sponsori oleh banyak vendor seperti Corexindo, Compex, Planet dll. Rekan-rekan APJII di bawah pimpinan Heru Nugroho waktu itu juga cukup aktif, dengan meminjan fasilitas yang ada di PT IDC di bawah pimpinan Ibu Aie & Johar Alam, workshop wireless, workshop VoIP dilakukan.
Proses pemandaian dilakukan dengan banyak cara, baik itu seminar, workshop, demo, juga menulis artikel, buku dan menyimpan berbagai file yang berguna di berbagai situs di Internet agar orang dapat mengambilnya secara gratis misalnya di:
http://www.bogor.net/ di dukung oleh BONET / Michael Sunggiardi
http://onno.vlsm.org di dukung oleh Rahmat Samik Ibrahim (UI)
http://sandbox.bellanet.org/~onno/ di dukung oleh IDRC.
http://opensource.telkomspeedy.com/speedyorari/ di dukung oleh PT. Telekomunikasi Indonesia.
Dengan menyebarnya pengetahuan kebanyak kalangan di Indonesia, secara perlahan tapi pasti massa pengguna Internet Wireless menjadi berkembang, walaupun kita semua tahu bahwa kita tidak mempunyai ijin menggunakan frekuensi 2.4GHz.
Akhir 2000 Keputusan DIRJEN POSTEL Tentang Internet Wireless
Akhirnya di akhir tahun 2000, keluarlah Keputusan DIRJEN POSTEL 241/2000 tentang penggunaan bersama (sharing) pita frekuensi 2400-2483.5 MHz antara Wireless LAN akses Internet bagi pengguna di luar gedung (outdoor) dan Microwave Link yang di tanda tangani oleh DIRJEN POSTEL Djamhari Sirat. KEPDIRJEN ini tampak sudah di draft dari DIRJEN POSTEL sebelumnya Sasmito Dirjo.
Bertumpu pada keputusan DIRJEN POSTEL 241/2000, bulan Februari 2001, Balai Monitoring frekuensi radio di berbagai kota mulai melakukan sweeping terhadap para pembangkang & pejuang Internet Indonesia. Korban pun berjatuhan, beberapa rekan harus merelakan alat-nya di sita oleh oknum Balai Monitoring & Polisi. Memang sebuah perjuangan akan makan korban yang tidak sedikit bagi pelakunya.
Maret 2001 Onno W. Purbo Mengundurkan Diri Dari POSTEL
Akhirnya pada tanggal 2 Maret 2001, Onno W. Purbo melayangkan surat ke DIRJEN POSTEL untuk menarik diri Onno W. Purbo dari POSTEL dan tidak akan menginjakan kaki ke kantor POSTEL selama teman-teman di sweeping dan urusan regulasi 2.4GHz tidak berpihak pada rakyat Indonesia.
Sampai dengan tanggal 18 Agustus 2005 Onno W. Purbo menepati janji-nya & tidak menginjak kaki-nya ke kantor POSTEL, walaupun sejak tanggal 5 January 2005 Onno W. Purbo sudah dapat menginjak kaki ke POSTEL karena akhirnya rakyat Indonesia telah merdeka untuk menggunakan frekuensi 2.4GHz berdasarkan KEPMENHUB No. 2/2005 yang di tanda tangani oleh Hatta Rajasa.
2001 Terbentuk INDOWLI
Pertempuran semakin memuncak, pada tanggal 10 November 2001 Asosiasi para pengguna Wireless Internet, yang kemudian di kenal dengan sebutan INDOWLI, di bentuk di acara seminar acara seminar & workshop implementasi wireless data network untuk jaringan teknologi informasi di Indonesia dengan sub topic kerangka infrastruktur pembentukan masyarakat berbasis teknologi informasi di Indonesia di Malang, yang di pimpin oleh rekan M. Shalahuddin, yang lebih di kenal sebagai Didin atas dorongan dari Lendy Widayana Pada waktu itu berkumpul banyak rekan, termasuk, Agus Sutandar, Michael Sunggiardi, Barata, Didin, Yohanes Sumaryo dan banyak lagi, kami sepakat membentuk sebuah organisasi untuk menaungi para pengguna Wireless Internet di Indonesia.
Ketua pertama INDOWLI adalah Barata. Barata yang kemudian hari banyak melakukan lobby ke pihak regulasi dalam hal ini POSTEL untuk berusaha membebaskan frekuensi 2.4GHz.
Perjuangan terus berlanjut, mailing list tempat diskusi secara elektronik menjadi medan perang dan koordinasi sambil menyebarkan ilmu pengetahuan agar rekan-rekan semua dapat belajar satu dengan yang lain. Mailing list yang paling dominan dalam proses perjuangan Internet Wireless di Indonesia adalah INDOWLI@yahoogroups.com.
Di akhir tahun 2005, massa pelanggan mailing list INDOWLI@yahoogroups.com termasuk besar dan lebih dari 4000 pelanggan. Setelah Merdeka, di pertengahan tahun 2006, total pelanggan mailing list INDOWLI@yahoogroups.com dan INDOWLI@groups.or.id melebihi 7000 pelanggan. Di awal tahun 2010, telah lebih dari 8000 anggota.
2002-2003 Sweeping Internet Wireless
Tahun 2002, kembali terjadi peningkatan sweeping aparat terhadap rekan-rekan pengguna 2.4GHz, VoIP dll. INDOWLI melayangkan surat protesnya tertanggal 8 Mei 2002 yang ditanda tangani oleh Barata Wardana dan Yohanes Sumaryo. Akhirnya pada tanggal 14 Juni 2002, Onno W. Purbo melayangkan surat cinta kepada para pemimpin negeri ini & tentunya tidak di tanggapi karena memang Onno W. Purbo hanya rakyat biasa-biasa saja, sehingga suaranya tidak perlu di perhatikan.
Pada tanggal 30 Desember 2003 kembali POSTEL membuat perang urat syaraf dengan menayangkan iklan / advetorial di media KOMPAS yang berjudul "Pemanfaatan Pita Frekuensi Radio 2.4GHz untuk Keperluan Internet".Pada dasarnya advetorial POSTEL berargumentasi bahwa kebijakan POSTEL memihak pada rakyat Indonesia.
Onno W. Purbo-pun naik pitam dan menulis artikel sanggahan yang di terbitkan di media massa Indonesia. Naskah asli artikel sanggahan berjudul "POSTEL harus mundur, rapor anda merah berdarah!!" di terbitkan oleh beberapa media nasional pada bulan January 2004.
2003 Indonesia menjadi contoh dunia untuk Internet murah
Di World Summit on Information Society (WSIS) Geneve Geneve 9-12 Desember 2003, banyak rekan-rekan negara lain terkagum, terinspirasi pengalaman Indonesia yang real di lapangan, bertumpu swadana & swadaya masyarakat, praktis hampir tidak di danai oleh pemerintah sama sekali. Alhamdullillah, tidak menambah utangan negara ke World Bank dan IMF. Bahkan masyarakat melakukan investasi sendiri infrastruktur informasinya, yang mereka juluki "RebelNet" the Indonesian community based infrastructure.
Akhir 2004 Persiapan Kemerdekaan Frekuensi 2.4 GHz
Proses pembuatan naskah regulasi / peraturan pembebasan 2.4GHz cukup alot. Perdebatan panjang sepanjang tahun 2004 terjadi di mailing list regulasi-POSTEL@yahoogroups.com, INDOWLI-formatur@yahoogroupscom, dan INDOWLI@yahoogroups.com, membahas detail naskah peraturan, keputusan menteri untuk kebebasan 2.4GHz. Beberapa workshop dan diskusi terbuka di gelar sebagai ajang interaksi antara regulator dan para pelaku lapangan. Rekan-rekan APJII di pimpin oleh Heru Nugroho dan rekan-rekan INDOWLI seperti Barata dan Didin sangat fasilitatif dalam melakukan proses interaksi antara regulator dan pelaku lapangan.
Tekanan menjadi sangat besar setelah PEMILU 2004, terutama karena adanya tekanan publik untuk mengevaluasi kinerja kabinet selama awal 100 hari dalam kekuasaan.
Pada awal Kabinet hasil PEMILU 2004, POSTEL masih berada di bawah naungan Departemen Perhubungan yang di komandani oleh Hatta Rajasa. Hatta Rajasa tampaknya cukup pandai untuk melihat kebutuhan masyarakat telekomunikasi dan Internet di Indonesia. Hatta Rajasa tampaknya memaksa kepada POSTEL untuk menyelesaikan draft Keputusan Menteri 2.4GHz.
Januari 2005 Merdeka!
Akhirnya, pada tanggal 5 Januari 2005, di tanda tangani Keputusan Menteri No. 2 / 2005 tentang Wireless Internet di 2.4GHz oleh Hatta Rajasa.
http://www.apjii.or.id/DOC/Regulasi1/KEPMENHUB-No.2-2005.pdf
http://www.postel.go.id/content/ID/regulasi/frekuensi/kepmen/km2-2005-ttg-2,4.pdf
KEPMEN 2/2005 pada prinsipnya membebaskan ijin penggunaan frekuensi 2.4GHz dengan syarat, antara lain,
- maksimum daya pancar 100mW
- EIRP maksimum 36dBm
- semua peralatan yang digunakan telah di sertifikasi.
Kita sering tidak sadar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa paling besar di dunia yang telah mengembangkan Internet wireless secara massal. Bangsa lain, terutama negara berkembang di Afrika & Asia banyak belajar ke bangsa Indonesia.
Walaupun di tahun 2006, bangsa Indonesia telah menikmati sedikit kemerdekaan dalam menggunakan frekuensi 2.4GHz. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus di kerjakan, terutama, membebaskan frekuensi 5-5.8GHz, membebaskan Internet Telepon, membebaskan RT/RW-net dan masih banyak lagi.
Harapan
Alangkah indahnya jika kita dapat melihat 220.000 sekolah & 45 juta siswa Indonesia terkait ke Internet. Bukan mustahil pada saat hal ini terjadi, bangsa ini menjadi bangsa besar, lebih besar dari Malaysia & Australia yang hanya memiliki 20 juta jiwa.
Semoga dengan semakin bebasnya Internet di Indonesia, bangsa ini dapat berkiprah dari kekuatan otak-nya bukan sekedar otot-nya saja. Bahasa keren-nya adalah melihat "Knowledge Based Society" di Indonesia.
Paling tidak cuplikan sejarah ini dapat memberikan nuansa bagi para penerus bangsa Indonesia, bahwa apa yang mereka peroleh merupakan hasil jerih payah banyak pendahulunya. Semoga tidak di sia-siakan & menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar.
Pengakuan Internasional: Applause Di Yale University Untuk Pejuang Frekuensi Indonesia
Minggu pagi 23 April 2006, Onno W. Purbo memperoleh bagian untuk berbicara di planery session dalam conference Access to Knowledge yang di selenggarakan oleh Yale Law School di Yale University Amerika Serikat. Konference ini fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan berbagai isu yang berkaitan dengan akses kepada pengetahuan bagi bangsa-bangsa di dunia yang di hadiri oleh peserta lebih dari 40 negara di dunia.
Sebetulnya topik yang di ajukan kepada Onno W. Purbo adalah limitasi bagi access to knowledge, yang sebetulnya cukup sederhana di Indonesia, seperti, bahasa inggris, mahalnya infrastruktur, rakyat yang tidak kaya, dan peraturan yang terlalu ketat di tambah korupsi.
Tentu tidak akan menarik jika hanya membicarakan keterbatasan, oleh karena itu Onno W. Purbo mengubah sedikit topik Onno W. Purbo menjadi lebih fokus pada pengalaman mengatasi keterbatasan tersebut yang tentunya berbasis pada pengalaman di lapangan selama 12+ tahun perjuangan bahu membahu dengan bangsa Indonesia untuk memperoleh akses Internet yang murah, sambil mencuri frekuensi di 2.4GHz, 5.8GHz, melakukan VoIP dll. Perjuangan panjang yang memakan waktu lama, mengedukasi bangsa, mengajak anak-anak muda di Indonesia menulis buku, share knowledge, membangun berbagai komunitas di mailing list. Gilanya, semua harus di lakukan secara swadaya masyarakat tanpa utangan Bank Dunia, IMF dan tanpa dukungan pemerintah bahkan di bawah sergapan polisi. Tapi semua akhirnya membuahkan hasil dengan bebasnya frekuensi 2.4GHz di Indonesia sejak bulan January 2005 lalu.
Penyebaran pengetahuan menjadi kunci utama dalam proses perjuangan memandaikan rakyat padahal sebagian besar pengetahuan yang ada tentang teknologi informasi dalam bahasa inggris. Seni mengkonversikan pengetahuan berbahasa Inggris menjadi buku-buku dan artikel dalam bahasa Indonesia secara swadaya masyarakat dengan cara mengajak anak-anak mudah Indonesia menjadi penulis buku IT ternyata sangat unik tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh banyak negara di dunia.
Pendekatan rebelius untuk mengatasi limitasi akses ke pengetahuan tidak pernah terpikirkan oleh para peneliti, birokat, pakar yang sangat berbudaya yang hadir di konferensi tersebut.
Yang amat sangat mengagetkan dan tidak pernah Onno W. Purbo rasakan sebelumnya selama umur hidup Onno W. Purbo memberikan ceramah di berbagai tempat di dunia,keynote speech Onno W. Purbo yang cukup rebelious mendapat sambutan yang amat sangat luar biasa. Tidak ada pembicara lain yang memperoleh sambutan sedemikian tinggi di Access to Knowledge Conference di Yale University.
Jian Yan Wang, dari Orbicom di Montreal Canada ternyata cukup iseng, katanya peserta sampai sekitar tiga (3) menit tidak berhenti bertepuk tangan untuk Onno W. Purbo. Alhamdullillah, perjuangan yang selama ini dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk membangun sendiri & swadaya masyarakat Internet murah dengan cara-cara tidak legal mendapat sambutan yang amat sangat luar biasa di forum yang sangat prestigius di Yale University di Amerika Serikat.
Setelah Onno W. Purbo turun dari podium amat sangat banyak sekali Professor dari banyak kampus di Amerika, Afrika, Eropa menyalami Onno W. Purbo dan mengatakan "Yours is very inspirasional". Sampai-sampai beberapa rekan seperti Sarah Kerr dari BellaNet Canada menyebutnya sebagai ceramah terbaik di Conference Access to Knowledge di Yale Law School.
Yah, bagi mereka yang lebih banyak bergelut dengan teori, berargumentasi di kampus, tidak pernah terjun kelapangan memang akan tidak pernah terfikir berbagai trik, akal-akalan, dan kenikmatan yang akan di peroleh jika kita dapat secara nyata membangun masyarakat tanpa utangan Bank Dunia, IMF maupun bantuan pemerintah.
sumber
Post a Comment