Home » » Biaya Fasilitas Sosial Mahal, Saatnya Masyarakat Beraksi!

Biaya Fasilitas Sosial Mahal, Saatnya Masyarakat Beraksi!

Written By Unknown on Tuesday 22 January 2013 | 00:20

Indonesia dengan segudang kekayaan yang dimilikinya, ternyata sekarang hanyalah tinggal nama formal semata, birokrat yang mengurusnya, rakyat yang kesusahan, tidak mampu memproduktifkan kekayaan aset yang dimilikinya. Ada pun ketika sebagian anak bangsa mulai mampu mengelola kekayaan ini, maka dengan tekanan ekonomi keterbukaan harus dilakukan proses go public, penjualan kekayaan tersebut secara bebas. Indosat adalah salah satu kasus yang menyedihkan. Kedigdayaan anak bangsa ini membangun sebuah kekayaan berakhir tragis dengan dimilikinya kekayaan bangsa ini oleh pihak Singapura (sekarang Qatar-red.). Sekarang Krakatau Steel sedang menunggu waktu untuk beralih kepemilikan kekayaan. Krakatau Steel sebagai perusahaan pengolah SDA berupa bijih besi akan beralih kepemilikan. Di sisi lain, komponen asing yang telah menguasai kekayaan ini umumnya lambat laun akan segera melakukan proteksi terhadap kekayaan yang telah dikuasainya dengan melakukan proses going private. Tak ada lagi celah bagi bangsa ini untuk menguasai kekayaan ini lagi karena kekayaan ini sekarang dalam posisi not for sale.

Kita pun tersentak beberapa tahun yang lalu ketika isu pembelian pulau beredar luas. Pihak asing membeli tanah-tanah Indonesia tidak tanggung-tanggung, sebesar pulau! Aset tanah di desa, kota, gunung, pantai saat ini secara intensif dibeli oleh para pemodal. Singapura sangat sadar akan hal ini dan tidak mengijinkan pembelian tanah, kecuali hanya sekedar hak pakai selama 99 tahun. Tanah-tanah strategis di tengah kota sangat ramah kepada para pemegang uang. Padahal uang yang didapat pun adalah dari sektor keuangan, berdiri di depan komputer, asyik melihat data, mengolah sedikit, nol di rekening pun dapat bertambah [baca: Institusi finansial seperti bank atau asuransi]. Slogan yang kaya makin kaya dan yang miskin terus miskin menjadi sangat relevan.  Tak ada celah bagi si miskin untuk dapat menikmati kekayaan dengan aset yang dimiliki.[1]

Keadaan inipun berimbas kepada fasilitas sosial terutama untuk pendidikan dan kesehatan yang akhirnya menjadi lahan privatisasi bisnis dimana pemerintah hanya sekedar regulator dimana institusi pendidikan dan rumah sakit menjadi seperti perusahaan profit oriented. Akhirnya ada istilah "orang miskin dilarang sakit" begitu juga orang miskin sulit bisa mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Yang terjadi adalah sekedar transaksi bisnis antara pengusaha dan konsumen. 


Kondisi ini tercipta langsung atau tidak langsung akibat dari sistem ekonomi yang cenderung berpihak kepada pemilik modal (kapital) besar yang terlihat pada institusi perusahaan perbankan (dan juga asuransi) yang seakan-akan menolong masyarakat, padahal hanya orang-orang mampu membayar saja yang mereka tolong. Karena prinsip dasar perusahaan perbankan dan asuransi tersebut adalah keuntungan materi.


Lalu bagaimana solusi permasalahan ini, disamping pemerintah juga memiliki keterbatasan, tidak semua  hasil pendapatan negara dan hasil dari pajak rakyat dikembalikan kepada rakyat, sebahagian adalah  untuk kewajiban membayar hutang dan bunganya?[2] Sehingga ada sebahagian kelompok masyarakat mengancam akan memboikot bayar pajak[3]. Dan lagi fasilitas-fasilitas sosial tersebut memerlukan biaya operasional agar berjalan baik untuk melayani masyarakat, bagaimana bisa fasilitas sosial tersebut bisa diberikan akses biaya murah bahkan gratis bagi masyarakat? Alhasil yang ada di benak masyarakat saat ini institusi yang sanggup menolong mendapat kemudahan untuk memenuhi kebutuhannya adalah perusahaan perbankan dan asuransi untuk membeli rumah, kendaraan, modal usaha, uang pensiun, pendidikan anak-anak, biaya pengobatan dan lain-lain.


Sebenarnya generasi muslim terdahulu sudah memiliki solusinya bagaimana mengatur dana di masyarakat selain dari kas yang dimiliki negara untuk kebutuhan sosial di masyarakat yaitu dengan dana wakaf yang produktif yang berorientasi sosial. Dimana sekarang ini pengelolaan dana masyarakat telah digantikan oleh perusahaan privat perbankan dan asuransi.


Akhirnya di tengah kebijakan yang kurang berpihak ini, wakaf berupaya mengambil kembali aset-aset publik ini agar dapat dimiliki oleh masyarakat dan keuntungannya pun kepada masyarakat. Masyarakat sipil melalui instrument wakaf akan berupaya menguasai kembali aset tanah strategis, perusahaan streategis dan jenis-jenis usaha strategis lain agar keuntungannya tidak untuk segelintir orang. Melalui instrument wakaf, sebidang tanah sejatinya milik sekian orang miskin yang harus diproduktifkan oleh nazhir, hasil keuntungannya akan kembali kepada orang miskin sebagai pemilik tanah. Sebuah perusahaan sejatinya sahamnya dimiliki oleh sekian orang miskin, tidak dapat diperjualbelikan, harus dijalankan secara professional sehingga selalu menghasilkan dividen yang akan dinikmati oleh pemegang saham notabene orang miskin.[4]


Belajar Dari Peradaban Emas Masa Lalu
Bagaimana instrumen wakaf berhasil mengatasi problema masyarakat modern untuk membiayai fasilitas sosial untuk seluruh lapisan masyarakat? Salah satunya adalah keberhasilan Kekhalifahan Turki Utsmani mengelola wakaf hingga banyak fasilitas sosial yang dibangun dari dana wakaf, salah satunya fasilitas pendidikan yang dimana selama beberapa abad memberikan sekolah gratis bagi rakyatnya.

Prof. Mehmet Maksudoglu, sejarahwan asal Inggris mengurai, di era Utsmaniyah, sistem pendidikan sama sekali tak memungut bayaran apapun. "Hal itu ditunjang sistem wakaf yang memang membuat setiap orang berpunya berlomba-lomba untuk wakaf," tulis Maksudoglu. 

Menurutnya lagi, di jaman Utsmaniyah itu kehidupan penuh dengan nuansa keimanan. Islam menjadi patron kehidupan setiap orang kala itu. "Masyarakat Utsmaniyah sedemikian makmur sehingga tidak seorangpun terlihat menerima zakat," paparnya lagi. 

Maksudoglu menuliskan, dalam praktik di Utsmaniah, tidak hanya para penguasa tetapi juga sadrasama (wazir kepala), wazir, berlebeys, sanjakbeys dan orang-orang berpunya muslim berlomba satu dengan ang lain dalam menyumbangkan wakaf. 

Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa sepanjang orang yang mendapat manfaat dari wakaf รข€“dikatakan bahwa dari setiap wakaf akan terus mengalir pahalanya sampai Hari Kebangkitan, dokumen wakaf berisi ancaman kutukan Allah dan Rasulullah bagi mereka yang mencoba mengubah dan memutar balik keputusan atas wakaf. 

Salah satu bentuk wakaf yang banyak terjadi adalah membangun madrasah (sekolah). Maksudoglu menggambarkan lagi, 

'pewakaf menyatakan dalam dokumen wakaf jumlah yang akan dibayarkan untuk guru, berapa uang saku yang harus diterima murid, sayur dan daging apa yang akan dimasak untuk setiap kali makan, berapa orang yang harus bekerja untuk membersihkan madrasah dan tugas lain, berapa bayaran untuk masing-masing, dan sumber pendapatan  semua keperluan. Madrasah dinamakan menurut jumlah yang dibayarkan kepada guru, jika seorang guru menerima 30 akchas per hari maka madrasah tersebut dinamakan atuz akchali atau otuzlu (mendapat tiga puluh). Ada yang disebut kirkh (mendapat empat puluh), effill (mendapat lima puluh) dan seterusnya.

Pemerintah tidak mengeluarkan sepeser pun untuk pendidikan sampai jaman Tanzimat (1839) yang menandai awal Eropanisasi.  Orang-orang Islam yang berpunya membangun madrasah dan  memberikan wakaf (toko, bangunan, lahan, kebun buah) untuk lembaga-lembaga ini.[5]


Skema Wakaf Produktif


Dengan kata lain aset wakaf haruslah aset berputar, berfungsi produktif, hingga menghasilkan surplus, dan darinya ada yang terus dapat dialirkan -yakni surplusnya tersebut- tanpa mengurangi modalnya. Atau, ketika barang modal itu aus, atau habis terpakai, dapat diperbarui kembali, dari hasil surplus tersebut. Ibarat sang angsa yang bertelor emas, kita bisa selalu memanfaatkan telor-telor emasnya, tanpa menyembelih induk angsanya.

Dalam kondisi tertentu, tentu saja, wakaf dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif. Tetapi wakaf konsumtif relatif terbatas jenisnya, seperti untuk keperluan pembangunan masjid, kuburan, jembatan, jalan, serta sarana-sarana umum lainnya. Tetapi, bentuk-bentuk sarana umum ini pun, pada gilirannya tetap harus ditopang untuk pemeliharaannya. Lagi-lagi kita memerlukan sumber dana yang terus mengalir, dan di sinilah wakaf produktif, yang menghasilkan telor emas secara terus-menerus, menjadi lebih utama dan bermanfaat.

Tentu, harus pula dipahami secara tepat, berproduksi, apalagi menggunakan aset-aset wakaf sebagai modalnya, tidaklah berarti semata-mata mengembangkan dan mengakumulasikan modal demi pengamulasian modal itu sendiri. Bila itu yang dilakukan, maka yang terjadi adalah justru melawan perintah Allah, subhanahu wa ta a'la, sendiri, untuk tidak 'menumpuk-numpuk harta' atau 'memutarkan harta hanya pada orang-orang kaya'. Bahkan, bila kita mengalirkan surplusnya sekali pun, tetapi surplus yang didapatkan dengan cara yang tidak mengikuti kaidah syariat, misalnya melalui cara-cara bisnis kapitalistik, maka yang akan kita peroleh bukanlah kesuburan sedekah.


Maka, tugas para nadzir dalam mengembalikan paraktek wakaf yang tepat, akan berarti juga mengembalikan muamalah. Beroperasinya wakaf secara tepat akan ditandai dengan berjalannya secara bersamaan kontrak-kontrak muamalat, seperti qirad (kontrak peminjaman modal untuk usaha perdagangan), shirkat (perkongsian usaha pabrikan atau produksi lainnya), qardul hasan  (pinjaman kebajikan), berkembangnya tijarah, dan sebagainya. [6]


Sehingga kita harapkan di masa yang akan datang, fasilitas-fasilitas publik maupun sosial bahkan perusahaan strategis kepemilikannya tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah (BUMN) dan korporasi swasta yang hanya dimiliki individu, keluarga atau konsorsium pemilik modal, namun juga oleh rakyat atau masyarakat umum lewat wakaf yang keuntungan seluruhnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat sendiri yang mandiri tanpa terlalu bergantung dari hasil pajak pemerintah dan tidak juga dari dana korporasi perbankan atau asuransi.

Sebuah gagasan dari Paguyuban Hotspot Murah tentang pengembangan usaha untuk wakaf produktif bisa dilihat di sini: ISP Wakaf Produktif Berbasis Komunitas, Sebuah Impian

sumber:
[1]tabungwakaf.com
[2]finance.detik.com 
[3]beritasatu.com
[4]idem no[1]
[5]mahkamah.co
[6]wakalanusantara.com
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HotSpot Murah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger