Home » » Membayar Gaji Karyawan Dengan Komoditas Berharga, Mengapa Tidak?

Membayar Gaji Karyawan Dengan Komoditas Berharga, Mengapa Tidak?

Written By Unknown on Wednesday 23 January 2013 | 03:05

Akhir tahun 2012 lalu tepatnya pada hari-hari terakhir bulan Desember, seorang pegawai teknisi lepas di paguyuban hotspot murah setuju menerima sebagian upah atau gaji bulanan dengan komoditas berupa beberapa kilogram beras dan koin dirham perak selain uang kertas rupiah. Ke depan rencananya hal ini akan terus berlangsung, yang diharapkan akan bertambah tidak hanya dalam bentuk beras dan koin perak, tapi juga bisa ditambah dengan paket sembako lain seperti daging kornet, minyak goreng, susu dan lain-lain, bahkan bisa juga berupa koin emas. Gaji yang unik karena tidak mengikuti mainstream seperti usaha yang lain?

Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan tim paguyuban hotspot murah memberikan gaji berupa komoditas tersebut. Pada saat itu ramai pula demonstrasi para buruh yang tujuan utamanya adalah untuk menuntut kenaikan gaji minimum lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, karena sudah dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini, karena biaya hidup juga terus naik karena kenaikan harga-harga barang dan jasa tiap tahun atau kita sering sebut inflasi yang dianggap merupakan suatu kewajaran dalam ekonomi modern di dunia saat ini.

Namun apakah dengan kenaikan gaji sekarang ini akan menghentikan aksi-aksi demonstrasi kenaikan gaji di masa depan? Sepertinya tidak, terlepas apakah gaji minimum yang sekarang yang diterima buruh layak atau tidak, adalah keniscayaan selama ada inflasi, maka selama itu pula akan muncul aksi-aksi serupa, seakan menjadi lingkaran yang tidak ada ujungnya.

Inflasi yang terjadi sekarang ini pada hakekatnya adalah penurunan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, jadi karena kemampuan daya beli uang rupiah makin kecil maka sudah pasti uang yang sekarang dalam nilai yang sama tidak bisa memenuhi kebutuhan satu tahun kedepan. Sedangkan nilai antar komoditas cenderung tetap, kalaupun ada kenaikan atau penurunan harga karena adanya supply dan demand antar komoditas tersebut adalah alamiah. Contoh 1 ekor ayam broiler harganya setara dengan sekitar 1,5-2 kg telor ayam broiler, atau harga 0,5 kg telor ayam broiler hampir sama dengan harga 1 kg beras, contoh lain koin 1 dirham perak bisa anda tukarkan dengan 1 ekor ayam kampung seberat 1 kg. Nilai perbandingan ini relatif tetap selama bertahun-tahun, namun jika dinilai dengan rupiah tentu nilainya terlihat semakin naik atau mahal dalam hitungan tahun.

Uang Di masa Lalu
Di banyak peradaban dunia di masa lalu, uang bukanlah seperti saat ini yang nilainya dipaksakan dalam selembar kertas apalagi uang elektronik yang berupa angka-angka maya dalam bit-bit komputer yang dijamin undang-undang. Di masa lalu, selain menggunakan emas dan perak sebagai uang, banyak peradaban memakai hasil komoditas tertentu; terutama bahan pangan sebagai uang, seperti beras di Jepang, garam di wilayah Afrika dan gurun Sahara, atau coklat di peradaban Aztec dan Maya di Meksiko. Dan tentu masih banyak lainnya.

Dalam literatur Islampun, kita bisa melihat hadits nabi yang berkaitan dengan hal ini:  "Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran / timbangannya) sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba." (HR. Muslim).

Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditas tersebut dalam hadits di atas adalah komoditas riba atau berlaku padanya hukum riba perniagaan.[1]

Seorang cendekiawan muslim masa kini, syeikh Imran Hosein menginformasikan bahwa ada sebuah hikmah di dalam hadits tersebut, yaitu keenam komoditas tersebut adalah digunakan sebagai uang di masyarakat pada saat itu, dimana emas dan perak adalah mata uang utama, sedangkan komoditas lainnya juga digunakan sebagai uang pada saat suplai uang emas dan perak sedikit. Sehingga beliau menyebut istilah "Uang Sunnah"; yaitu adalah uang yang memiliki nilai intrinsik pada bendanya, emas dan perak atau komoditas makanan pokok di masyarakat setempat. Karena komoditas tersebut dipakai sebagai uang maka berlakulah hukum riba perniagaan atasnya. Indikator lain adalah hadits berikut:

"Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya : wahai Rasul: bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW "Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung)."(HR Ahmad dan Thabra­ni).

Dari hadits di atas, hewan tidak terkena hukum riba perniagaan. Hal adalah tambahan indikator kuat bahwa enam komoditas yang terkena hukum riba atasnya digunakan sebagai uang, sedangkan hewan tidaklah bisa digunakan sebagai uang.

Beberapa hal yang disebut di atas adalah alasan yang kuat bagi kami untuk memperbaiki keadaan mulai dari yang hal yang kecil di lingkungan sendiri. Jadi memberi upah dalam bentuk emas, perak dan komoditas bahan makanan pokok bukanlah sesuatu hal yang baru dalam peradaban dunia, bahkan untuk kondisi sekarang dalam pandangan kami adalah lebih baik daripada hanya menggunakan uang fiat yang terus hilang nilainya dari tahun-ketahun.

Dalam perdagangan internasionalpun tidak jarang terjadi pembayaran dengan komoditas pilihan, contohnya pembelian paket pesawat tempur Sukhoi dan helikopter tempur Mi-35 untuk RI yang dibayar dengan komoditas andalan seperti minyak kelapa sawit dan lainnya[2].

Apakah Anda sudah tahu bahwa menurut UU no 19 tahun 1946 pemerintah menetapkan bahwa nilai uang 10 rupiah sama dengan 5 gram emas![3] Jadi kalau dihitung secara kasar dengan nilai rupiah sekarang, jika 5 gram emas sekarang berkisar 2,7 juta rupiah berarti penurunan rupiah sekitar 270.000 kali, apalagi jika dihitung dengan kebijakan pemerintah orde lama yaitu sanering dan gunting Syafruddin maka makin parah saja nilai penurunannya mungkin menjadi sekitar 540.000.000 kali?

Menggunakan uang fiat seperti uang kertas dan uang elektronik yang tidak dibackup dengan komoditas barang atau jasa adalah uang buruk yang rawan terjadi manipulasi, inflasi dan deflasi. Penggunaan uang fiat ditambah dengan sistem riba sekarang ini yang juga mengakibatkan krisis moneter yang terus berulang di negara-negara seluruh dunia.

Emas Dan Perak Bukan Sekedar Disimpan
Eforia tentang emas dan perak yang tahan inflasi belakangan ini menjadi tren di masyarakat mulai dari menjadi alat investasi hingga ada istilah berkebun emas. Sehingga emas dan perak lebih banyak cenderung diam ditempat atau bahkan ditimbun seperti yang dilakukan para bankir[4]. Padahal menurut syariah menimbun emas dan perak tanpa menafkahkannya adalah terlarang (Qs. At-Taubat 9:34).

Oleh karena itu jika kita sanggup menabung emas dan perak dan membayar zakat dengan makanan pokok dan hewan ternak, mengapa kita juga tidak mengeluarkan zakat dalam bentuk emas dan perak yang kita simpan? Ataupun dalam bentuk lain seperti sedekah, hadiah, transaksi jual-beli barang dan jasa yang dengannya akan memutar kekayaan tidak hanya pada orang-orang yang mampu saja. Yang pada saat sekarang ini lebih banyak orang yang tidak bisa membeli emas perak untuk tabungan, padahal inflasi terus terjadi. Jika kita ingin merubah kondisi yang serba sulit ini maka perlu banyak pihak yang terlibat agar sistem keuangan yang kacau ini sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik ke depannya bagi kehidupan masyarakat umum. Wallahu'alam

sumber:
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HotSpot Murah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger