Perjalanan Berikutnya
Akhir tahun 1997, saya kembali ke Indonesia di tengah badai krisis moneter. Kegagalan membuat bisnis di Kanada tersebut tidak membuat saya jera. Saya coba kembali membuat beberapa usaha di Indonesia.
Sebelum pulang ke Indonesia, kami sempat mendirikan sebuah perusahaan yang memfokuskan diri ke jasa konsultasi teknologi informasi dengan nama Insan Komunikasi (dimana ada kemiripan nama dengan Iscom) yang kemudian akhirnya berganti nama menjadi Insan Infonesia. Kali ini kami memulai dari keluarga sendiri dengan langkah yang perlahan-lahan. Perusahaan ini sampai sekarang masih bertahan, meski masih kecil. Mudah-mudahan perusahaan ini bisa menjadi contoh sukses.
Venture Capital: INDOCISC
Bisnis dotcom mulai meledak di tahun 1999 dan 2000. Muncullah entity yang bernama venture capital di dalam peta bisnis Information Technology (IT) di Indonesia. Venture capital sendiri sebetulnya bukan sesuatu yang baru di dunia IT. Namun di Indonesia, ini masih sesuatu yang baru. Saya pun kemudian terbujuk untuk mencoba usaha dengan bantuan venture capital dari Korea. Tadinya saya tidak berkeinginan untuk membuat usaha ini karena toh sudah ada perusahaan (Insan Komunikasi, lihat bagian sebelumnya). Namun akhirnya saya tertarik juga untuk mencoba bekerja-sama dengan venture capital. Mulailah kami membuat badan usaha yang bernama INDOCISC dengan bidang: community system development dan security. (Pada akhirnya kami memfokuskan pada bidang security.)
Dari INDOCISC ini kami juga mengembangkan badan usaha lain yang bergerak dalam bidang pengembangan komunitas dan SDM, serta penempatan SDM IT di luar negeri. Sayangnya badan usaha lain ini tidak berjalan dengan semestinya. Hal ini disebabkan karena:
- Kurangnya orang yang fokus dalam penjalankan bisnis tersebut. Kesulitanmendapatkan SDM yang dapat menjalankan bisnis merupakan salah satu kendala besar. SDM yang berkutat di bidang teknis tidak terlalu masalah (meskipun masih kekurangan juga);
- Jatuhnya bisnis dotcom (bubble bust) di seluruh dunia sehingga membuat banyak perusahaan IT tutup;
- Ketidak-cocokan antar pendiri dan pemegang saham. Ketika masalah muncul, maka mulai nampak karakter dari masing-masing. Kecocokan pada tahap awal belum menjadi jaminan akan cocok terus. Hal ini sudah berulang kali terjadi.
INDOCISC sendiri akhirnya memfokuskan diri dalam bidang security dan tidak menangani lain-lainnya (meskipun kami bisa). Adanya fokus ini ternyata membawa berkah karena dia menjadi dikenal dalam bidang security. Untuk pekerjaan yang non-security, INDOCISC bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan lain yang lebih fokus dan kompeten di bidangnya. Misalnya, jika ada yang menawarkan pekerjaan untuk melakukan desain web, kami sarankan untuk menghubungi partner kami yang memang fokus kepada usaha tersebut. Pelajaran baik yang dapat dipetik:
- Fokuskan pada satu bidang atau kompetensi tertentu. Jangan mau semua (meskipun bisa). Dalam bahasa Inggris dikenal peribahasa: “Jack of all trades, master of none”.
- Giat dalam bidang Research & Development (R&D). Kami tahu bahwa kekuatan dari kami adalah pada sisi R&D nya.
- Dekat dengan perguruan tinggi merupakan salah satu keuntungan untuk mendapatkan SDM (untuk melakukan R&D), teknologi, dan ide-ide. Perguruan tinggi merupakan tempat yang relatif aman dan murah untuk menguji dan mengeksplorasi ide. Mahasiswa merupakan tenaga murah yang dapat dilibatkan dalam pengembangan. Sementara itu mahasiswa senang dilibatkan karena dia mendapatkan pengalaman industri yang nantinya bisa menjadi track record dia ketika dia selesai.
Pengamatan lain dalam perjalanan ini
Selain mendirikan perusahaan, saya masih aktif mengajar dan meneliti di perguruan tinggi. Dalam pergaulan di kampus dan dengan industri ada beberapa komentar yang dapat saya tangkap:
- Kadang-kadang perguruan tinggi menjadi pesaing bagi industri kecil dan menengah. Ini dianggap kurang fair bagi entrepreneur. Bukannya mereka dibantu, mereka malah disaingi oleh perguruan tinggi. Ada istilah entrepreneur university yang menurut saya agak keliru. Ternyata yang dimaksud dengan entrepreneur university adalah sang perguruan tinggi-nya lah yang menjadi entrepreneur. Padahal seharusnya mahasiswanya, lulusannya, dan mungkin dosennya yang didorong dan didukung untuk menjadi entrepreneur, bukannya malah ditandingi. Situasi ini tidak kondusif.
- Beberapa perguruan tinggi mengungkapkan ingin mendorong mahasiswanya untuk menjadi entrepreneur. Namun pada kenyataannya belum ada laboratorium atau kurikulum yang mendukung ke arah sana. Jadi pernyataan atau keinginan tersebut masih terbatas pada lip service. Hal ini perlu diubah jika memang perguruan tinggi serius ingin menciptakan entrepreneurs.
- Perguruan tinggi masih belum serius dalam mengijinkan stafnya (dosen) untuk terjun membuat usaha (menjadi entrepreneur). Perlu dibedakan antara dosen yang mengerjakan proyek (mroyek) dan dosen yang ingin mengembangkan industri dimana dia merupakan salah satu pemain di industri tersebut. Keduanya masih dianggap sama. Padahal yang terakhir ini bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan menjadi contoh nyata (riil) bagi mahasiswa. Kesuksesan seorang dosen masih diukur dengan ukuran konvensional (seperti jumlah makalah).
- Belum adanya insentif dan program dari Pemerintah. Yang ada baru program-program yang sekedar “wah” (sehingga nama pejabat yang bersangkutan dikenal) namun tidak memiliki visi dan langkah yang jelas dan nyata bagi pelaku bisnis.
- Kebanyakan mahasiswa masih berjiwa “ingin kerja ke perusahaan orang lain”. Opsi mengembangan usaha sendiri baru muncul belakangan ini dan masih belum populer.
Pelajaran Yang Diperoleh
Pada bagian ini saya ingin merangkumkan pelajaran yang kami peroleh dalam mendirikan menjalankan start-up. Beberapa sebab kegagalan, antara lain:
- Teknologi dan produk yang dihasilkan terlalu advanced sehingga belum diminati. Biasanya produk ini di-drive oleh para insinyur (techie, engineers).
- Belum ada inisiatif dari Pemerintah Indonesia untuk membantu industri kecil seperti ini. Bahkan, ada “gangguan” seperti perpajakan untuk perusahaan yang baru tumbuh. Seharusnya ada inisiatif untuk membantu industri kecil dengan menangguhkan perpajakan sampai perusahaan yang bersangkutan benar-benar stabil (misalnya dengan membebaskan dari pajak sampai 10 tahun seperti dilakukan di Malaysia atau Taiwan). Adanya insentif ini membuat pelaku bisnis semangat untuk melakukan investasi dan membuka lapangan kerja. Topik ini merupakan hal yang penting dan perlu dibahas secara terpisah.
- Belum ada bantuan dari Pemerintah Indonesia, seperti halnya adanya program IRAP (Industrial Research Assitance Program) di Kanada. Program bantuan yang ada masih bersifat proyek yang selesai setelah dana berhenti. Industri kecil terpaksa belajar sendiri dari kegagalannya. Jika digabungkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh semua industri kecil, jumlahnya akan besar. Ini merupakan pelajaran yang sangat mahal.
- Kurangnya SDM yang dapat menjalankan bisnis (bukan sisi teknis) yang mengerti teknologi. (Kemana saja lulusan ekonomi dan management?)
- Keharmonisan antara pendiri, pemegang saham, dan yang menjalankan bisnis belum tentu langgeng. Perlu dibuatkan aturan main (sistem) yang disepakati bersama pada awalnya sehingga tidak terjadi perpecahan di tengah jalan. Kehebatan teknis bukan menjadi jaminan kesuksesan sebuah bisnis.
Sementara itu pelajaran lain yang diperoleh dari usaha mendirikan start-ups antara lain:
- Pendirian usaha biasanya dimulai dari beberapa orang yang memiliki ide. Kemudian pendanaan dimulai dari beberapa orang ini ditambah dari kawan-kawan. Istilah yang umum adalah dari “friends and family”. Nampaknya ini adalah rule of thumb dalam mendirikan start-up. (Banyak buku yang membahas hal ini dan teori yang ada di buku tersebut memang benar karena telah saya alami.)
- Fokus kepada satu bidang atau kompetensi merupakan salah satu kunci kesuksesan. Jangan rakus dan mau semua.
- Orang teknis sebaiknya diberi bekal atau pengetahuan (wawasan) tentang bisnis. Pendidikan di perguruan tinggi yang memiliki jurusan teknis perlu diubah untuk mengakomodasi hal ini.
Kesimpulan
Mendirikan sebuah usaha start-up ternyata tidak mudah. Banyak hal yang tidak diketahui pada saat mendirikan perusahaan. Banyak perusahaan start-up yang mati di tengah jalan dikarenakan berbagai alasan yang telah diuraikan pada tulisan ini.
Saya pribadi masih terus belajar (dan siap jatuh bangun) mengembangkan bisnis yang bernuansa teknologi. Mudah-mudahan apa yang saya jalankan dapat menghasilkan sesuatu yang sukses besar sehingga dapat dijadikan contoh untuk memotivasi calon-calon entrepreneur baru.
Selesai.
Post a Comment