Di bawah ini adalah sebuah tulisan yang berisi pengalaman seorang praktisi IT yang sudah malang-melintang di dalam dan luar negeri, bagaimana membangun sebuah perusahaan start-up dan sudah merasakan langsung jatuh bangunnya usaha yang dikelolanya. Beliau adalah Budi Rahardjo. Tulisan pengalaman di bawah ini aslinya disusun dalam bentuk makalah. Makalah ini dipresentasikan di acara Lokakarya Pusat Inovasi LIPI, 5 Juni 2003, di Hotel Arjuna
Plaza, Bandung.
Pelajaran Dari Mendirikan Perusahaan Start-Up
Budi Rahardjo
Juni 2003
Akhir-akhir ini banyak orang berbicara tentang entrepreneurship. Mahasiswa digiring untuk menidirikan usaha sendiri dengan iming-iming menjadi Bill Gates kedua. Apakah semudah itu? Jika memang semudah itu, mengapa kita belum mendengar cerita sukesnya? Tulisan ini mencoba menceritakan suka dukanya membuat usaha sendiri, atau yang dikenal dengan istilah mendirikan start-up. Tulisan ini berdasarkan kepada pengalaman penulis yang mungkin tidak dapat digeneralisir menjadi kaidah umum dalam perjalanan mendirikan perusahan. Paling tidak, tulisan ini mencoba menceritakan pelajaran yang penulis peroleh. Untuk itu tulisan ini tidak terlalu formal.
Bagian ini akan menceritakan awal perjalanan saya dalam mengembangkan start-up, yaitu ketika di Kanada.
Software & hardware house: Iqra Biomedical
Keinginan saya untuk mendirikan perusahaan dimulai ketika saya mengambil pendidikan S2 dan S3 di Kanada. Kala itu saya memiliki beberapa teman dari berbagai jurusan; electrical engineering, computer science, dan dari kedokteran. Salah seorang dari mereka pernah ditugasi dosennya untuk membuat program untuk melakukan diagnosa pasien. Program tersebut mengimplementasikan sebuah expert system dan mencoba menganalisa penyakit yang diderita oleh pasien berdasarkan data-data yang diberikan oleh pasien tersebut. Kami pikir program ini bisa diteruskan menjadi sebuah program komersial. Selain itu rekan-rekan di kedokteran juga telah menggunakan alat-alat elektronik untuk melakukan operasi. Mereka adalah dokter-dokter muda yang terbiasa menggunakan komputer (e-mail dan sejenisnya). Kemudian timbul ide untuk mengkomputerkan perangkat laparoscopy. Dengan modal dua ide ini kami sepakat untuk membuat sebuah usaha bersama dengan nama Iqra Biomedical. Modal kami tidak banyak karena sebagian besar kami adalah mahasiswa, apalagi saya mahasiswa asing yang notabene keuangannya pas-pasan.
Langkah pertama yang kami lakukan adalah mendokumentasikan semua yang kami miliki dan melakukan pencarian informasi (riset) awal. Setelah itu kami menghubungi sebuah institusi yang bernama IRAP, Industrial Research Assistance Programme yang merupakan bagian atau program dari National Research Council. Misi dari IRAP ini adalah membantu industri kecil dan menengah dalam mengembangkan kemampuannya di bidang teknologi dan inovasi. Saya lupa berapa yang harus kami bayar kepada IRAP waktu itu, mungkin CAN$ 500? (ataukah CAN $100?). Yang saya ingat adalah biayanya terjangkau. Kami berkonsultasi dengan IRAP tentang kemungkinan teknologi dan bisnis kami itu. IRAP kemudian melakukan risetnya dan memberikan hasilnya dalam bentuk sebuah dokumen. Dalam dokumen tersebut ditunjukkan potensi dari bisnis, kelemahan dari bisnis kami, kompetitor kami, pakar-pakar di Kanada yang dapat dihubungi untuk melakukan konsultasi teknologi, dan hal-hal lain yang sangat membantu kami dalam memfokuskan diri. Kami juga diberi kesempatan untuk banyak melakukan konsultasi. Berdasarkan masukan ini, kami meneruskan untuk melakukan usaha tersebut. Sebagai catatan, inisiatif seperti IRAP ini belum ada di Indonesia. Ataupun kalau ada, saya belum pernah mengetahui.
Sayangnya dalam perjalanannya usaha kami ini tidak berhasil karena beberapa hal, antara lain:
- Kami kehabisan dana (untuk menggaji seorang programmer untuk melakukan dokumentasi requirement engineering dan menyewat tempat di basement rumah). Dugaan kami bahwa pekerjaan dapat selesai dalam waktunya ternyata molor.;
- Komitmen dari calon pembeli alat (laparoscopy) masih belum ada karena alat tersebut terlalu advanced waktu itu (sekarang sudah ada yang mencobanya di Itali). Kami mempresentasikannya di depan dokter-dokter di sebuah rumah sakit umum di kota kami. Mereka masih belum dapat menangkap konsepnya. We were ahead of its time;
- Biaya untuk melakukan pengujian di bidang medical sangat mahal (karena menyangkut manusia sehingga harus hati-hati); Kami harus mendatangkan pakar dari beberapa kota untuk mengevaluasi produk jika sudah jadi. Ini terlalu mahal.
Akibatnya usaha tersebut berhenti di tengah jalan. Namun kami akan mencobanyakembali. Sampai sekarang belum terlaksana.
ISP: Canada Overdrive Online
Tahun 1995 Internet mulai boleh digunakan untuk keperluan komersial. Akses ke Internet mulai dibuka untuk masyarakat umum. Mulailah muncul industri akses Internet yang dikenal dengan nama Internet Service Provider (ISP). Akhirnya kami pun mendirikan perusahaan ISP dengan nama Canada Overdrive Online (COOL) yang dimulai dari basement rumah dengan modal sebuah komputer, sebuah modem, dan sebuah koneksi ISDN. Sebagai catatan, waktu itu belum ada satu ISP yang sangat dominan seperti AOL saat ini. AOL masih kecil akan tetapi tumbuh dengan cepat. Waktu itu kami berharap dapat menjadi AOL-nya Kanada. Itulah sebabnya nama usahanya agak nyerempet AOL.
Semenjak Netscape sukses besar dengan IPO (Initial Public Offering) di bursa saham, banyak orang yang ingin mendirikan perusahaan high-tech dan kemudian melaju ke IPO. Inilah awal dari munculnya “dotcom”. Usaha kami pun mulai diminati oleh beberapa orang di komunitas. Mulailah kami membuat dokumen bisnis, meresmikan bisnis (incorporated), dan menjual saham diantara “friends and family”. Terus terang kami tidak mengetahui teori-teori bisnis (khususnya start-up) yang kemudian mulai muncul. Bisnis kemudian meningkat sehingga kami harus pindah ke sebuah ruko dengan menyewa saluran telepon yang lebih banyak.
Namun nampaknya bisnis ISP tidak semudah yang disangka. Persaingan sangat ketat dan diperlukan investasi terus menerus karena kemajuan teknologi. Modem yang tadinya hanya 9600 bps, harus diganti ke 33,6 kbps. Baru selesai pergantian (investasi), harus diganti lagi dengan 56 kbps. Implikasinya adalah keuntungan tak kunjung datang karena keuntungan harus diinvestasikan kembali. Bahkan untuk menjaga agar kompetitif dan break even, kami harus meningkatkan jumlah saluran telepon.
Pada akhirnya bisnis kami ini harus kami jual kepada orang lain karena kami tidak mampu mengurusi sisi bisnisnya. Kami kebetulan adalah orang-orang teknis yang melihat kesempatan (opportunity), akan tetapi tidak memiliki latar belakang bisnis yang cukup kuat untuk menghadapi tantangan bisnis.
Pelajaran yang saya peroleh dari bisnis ini:
- Bisnis ISP merupakan bisnis yang tidak terlalu menguntungkan. Itulah sebabnya saya cukup heran ketika kembali ke Indonesia dan banyak orang ingin mendirikan ISP. Saya berikan saran-saran berdasarkan pengalaman saya. Namun iming-iming untuk menjadi sukses lebih dominan.
- Bisnis yang sangat ditentukan oleh teknologi seperti ini harus selalu merencanakan perkembangan teknologi agar tidak melakukan investasi terus menerus dan tidak kunjung break-even.
- Sebaiknya bisnis dijalankan oleh orang yang mengerti bisnis, bukan oleh techie (orang teknis). Atau, jika sang techie ingin menjalankannya, maka dia harus mengerti bisnis. Atau, mungkin pelajaran bisnis dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan teknis.
Web hosting: Iscom
Model bisnis berikutnya yang mulai berkembang waktu itu adalah web hosting. Maka saya pun tidak ketinggalan. Beserta kawan-kawan (sesama mahasiswa Indonesia yang besekolah di luar negeri) yang tersebar di berbagai penjuru dunia mulai berkeinginan untuk terjun ke usaha web hosting lengkap dengan programmingnya dengan nama Iscom. Lagi-lagi dimulai dari mengumpulkan dana sesama mahasiswa Indonesia.
Sayangnya bisnis ini juga gagal. Bagi saya sangat berat untuk mempertanggung-jawabkan hilangnya uang rekan-rekan yang dititipkan di bisnis ini. Kali ini kegagalan disebabkan oleh:
- Tidak adanya yang mau menekuni sisi bisnis. Kala itu saya sendirian menjalankan hampir semuanya, mulai dari setup sistem sampai ke marketing;
- Waktu itu belum banyak orang Indonesia yang mengenal Internet, apalagi web hosting. Lagi-lagi, kami terlalu advanced;
- Model bisnis dari web hosting ternyata juga masih belum jelas.
bersambung ke bagian II
Post a Comment