Sepertinya sudah banyak orang kita yang mengenal teknologi RT/RW-Net, yaitu teknologi membangun jaringan Internet secara swadaya dilingkungan RT atau RW.
Saat ini sudah menjadi tren dan sudah banyak pengusaha yang berhasil membangun dan mengembangkan RT/RW-Net di daerahnya masing-masing.
Sejalan dengan namanya, pengembangan RT/RW-Net dimulai dari lingkungan yang paling kecil dari struktur pemerintahan di Indonesia, yaitu kelas RT atau RW yang hanya mengurus sekitar 50 sampai sekitar 300-an kepala keluarga di dalam satu wilayah.
Pekerjaan yang tergolong iseng-iseng ini secara de facto dapat dikembangkan oleh pemerintah untuk mendukung program-program yang ada, terutama program sosialisasi secara masal. Ketua RT atau RW dapat dengan mudah menyampaikan pesan-pesannya di dalam satu web yang dikembangkan oleh komunitas, ditambah lagi kalau misalnya mereka membangun infrastruktur untuk WiFI VoIP, sehingga menjadikan komunikasi murah dan akan dipakai oleh setiap orang di lingkungan tersebut.
Meski usianya sudah nyaris sepuluh tahun, pihak pemerintah belum ada yang tertarik untuk mengadaptasi atau bahkan memanfaatkan teknologi ini. Yang ada sampai saat ini banyak sekali orang-orang di lingkungan pemerintahan daerah, kota atau propinsi yang jalan sendiri-sendiri untuk membangun infrastruktur dengan tujuan yang tidak jelas.
Pembangunan yang sekarang dilakukan oleh pemerintah daerah biasanya berbasis bisikan, sehingga kebutuhan yang sesungguhnya kalah maksud dan niat yang lain dan dengan tender-tender yang diselenggarakan seringkali menyulitkan semua pihak. Metode tender di dunia teknologi informasi ini sepertinya sangat tidak cocok, karena menjual teknologi tinggi bukan sekedar hanya menggeser kotak jualan dapat untung kemudian pergi begitu saja, tetapi lebih kedalam upaya untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang hasilnya dapat dirasakan oleh banyak pihak.
Gabungan antara tender dan ketidaktahuan teknologi inilah yang menyebabkan banyak proyek pemerintah di lingkungan pengembanagan e-government malalui teknologi informasi menjadi tersendat dan kacau balau.
Sementara itu, semua sadar bahwa infrstruktur merupakan satu langkah yang harus dibangun sebelum seluruh aplikasi dan penerapan teknologi dijalankan.
Solusi mengikut sertakan teknologi RT/RW-Net kedalam program pemerintah merupakan satu terobosan dalam mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama disebabkan oleh pihak incumbent yang masih cuek bebek terhadap hal ini dan lebih tertarik kepada satu penghasilan dalam bentuk uang.
Jaringan RT/RW-Net yang intinya adalah mempererat hubungan antar penghuni perumahan tertentu, dapat dijadikan sarana penyebaran informasi oleh pemerintah, seperti pemberitahuan tentang ketentuan atau hukum yang baru disahkan oleh petinggi-petingginya, kemudian dapat dipakai juga untuk memberikan penyuluhan terhadap banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan teknologi informasi itu sendiri.
Pembangunan RT/RW-Net sebetulnya merupakan konsep yang salah, karena di negara-negara maju, tidak ada yang namanya RT/RW-Net, karena incumbent sudah secara otomatis membangun infrastruktur untuk masyarakatnya.
Incumbent di Indonesia tidak reaktif terhadap kebutuhan masyarakatnya, karena di kebanyakan kota, skala ekonomi yang terjadi masih kurang memadai untuk satu aplikasi bisnis. Dengan sistem monopoli dan duopoli itulah, pembangunan infrastruktur teknologi informasi di Indonesia menjadi tersendat dan menyebabkan improvisasi dari masyarakat luasnya.
Konsep yang salah ini maksudnya adalah bahwa kematian penyebaran teknologi RT/RW-Net adalah dalam hitungan setiap detik, artinya membangun infrastruktur secara swadaya merupakan cara yang salah, namun sangat cocok untuk menunggu turunnya pihak yang dikuasakan ke dalam kancah pembangunan infrastruktur teknologi informasi.
Di negara maju seperti Amerika, ada satu lembaga swadaya masyarakat yang mengayomi pengusaha kecil dalam teknologi informasi dan telekomunikasi, yaitu National Telecommunications Cooperative Association (NTCA) yang anggotanya berjumlah ratusan pengusaha kecil Amerika. Anggotanya merupakan pengusaha lokal yang biasanya merupakan single fighter, melakukan semuanya sendiri, jadi boss, teknisi, marketing, sales dan customer service.
Cara kerja sama yang sangat manis ini sepertinya sulit terjadi di Indonesia, karena kebanyakan pengusaha teknologi informasi kita akan selalu berusaha untuk membunuh lawan bisnisnya, sehingga model gotong royong Pancasila hanya terjadi di kampung-kampung aja.
Asosiasi-asosiasi yang berkaitan dengan teknologi informasi di Indonesia kebanyakan punya visi dan misi yang terlalu muluk, sehingga segala upayanya tidak membumi sehingga menyebabkan benturan antar sesama anggota.
Dengan segala resiko dan keadaan yang terjadi sudah jelas bahwa pembangunan RT/RW-Net saat ini hanya merupakan obat sementara untuk solusi yang tidak diberikan oleh operator besar atau incombent. Kita semua harus memikirkan bagaimana melanggengkan usaha para perintis pembangunan infrastruktur satu wilayah yang sudah berkorban dan memberikan kontribusi yang bukan main-main, pada saat incombent belum mau masuk dengan alasan skala ekonomi yang masih kecil.
Pengukuhan dan aturan main yang jelas merupakan satu cara untuk dapat melestarikan para pegusaha RT/RW-Net untuk dapat masuk ke jaringan sistem pemerintah yang selalu membutuhkan pihak ketiga dan turun tangan pemerintah. Dalam hal ini keterlibatan Menteri Kominfo sangat diperlukan, sehingga bisnis RT/RW-Net yang sangat membantu masyarakat dan bahkan lingkungan pemerintahan, akan menjadi suatu harapan cerah.
Tidak terlintas sama sekali upaya untuk membangun asosiasi semacam NTCA, tetapi dengan dukungan pemerintah sepertinya kita dapat memulai membangun semangat RT/RW-Net untuk melindungi hak-hak anggotanya, sekaligus membuat bisnis RT/RW-Net bermasa depan cerah.
catatan:
[1]ncta.org
Post a Comment