Home » » Uang Mainan Ciptaan Bank Sentral

Uang Mainan Ciptaan Bank Sentral

Written By Unknown on Sunday 27 January 2013 | 15:52

Uang Modern Masa Kini
Uang di zaman modern masa kini berbeda dengan uang yang digunakan di masa lampau, Di masa lalu benda-benda yang secara umum disukai masyarakat setempat yang memiliki nilai atau dianggap berharga yaitu benda-benda komoditas tertentu, seperti emas, perak dan komoditas lain terutama bahan makanan pokok masyarakat setempat, yang telah menjadi kesepakatan umum dijadikan sebagai uang secara fitrah alamiah tanpa perlu otoritas khusus yang mengatur bahwa benda ini berlaku sebagai uang atau tidak. Uang-uang tersebut bisa dibilang sudah memenuhi fungsi uang utama yang Kita kenal secara umum, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung dalam kadar dan berat benda, dan sebagai penyimpan nilai atau kekayaan yang dapat digunakan di masa depan.

Sedangkan uang di zaman sekarang telah dimonopoli oleh pemerintah lewat bank sentral dan dipaksakan melalui peraturan undang-undang, mana yang disebut uang asli sebagai alat pembayaran yang sah. Namun sayang benda yang dijadikan uang ini bukan seperti uang di masa lalu tetapi sebuah kertas nota yang nilai di atasnya dipaksakan dengan angka-angka maya sesuka hati, dimana sebelumnya kertas ini pernah berfungsi seperti cek atau sertifikat kepemilikan benda seperti emas atau perak seperti dalam sejarah uang kertas di negara-negara barat.

Sertifikat emas senilai 20 Dollar


Cek-cek sertifikat tersebut pada tahap selanjutnya menjadi uang yang dibackup dengan komoditas emas atau perak. Namun pada akhirnya kertas-kertas ini menjadi legal tender atau alat pembayaran yang sah tanpa dibackup komoditas sama sekali!

Sertifikat perak sebesar satu Dollar

Dengan berubahnya uang dari masa lalu yang berupa uang komoditas menjadi uang fiat (hampa) saat ini, maka salah satu fungsi utama uang yang pernah Kita tahu sebagai penyimpan nilai atau kekayaan untuk digunakan di masa depan tidak bisa dipenuhi secara baik, karena uang fiat tersebut rentan terhadap manipulasi, inflasi dan deflasi yang parah, karena uang jenis ini bisa dicetak semena-mena apalagi dengan adanya sistem perbankan yang menggunakan sistem fractional reserve dan riba. Dalam sejarah literatur peradaban Islampun, uang yang termasuk jenis fiat inipun pernah digunakan, yaitu disebut fulus, adalah uang yang terbuat dari logam selain emas dan perak-seperti tembaga-yang berfungsi sebagai uang receh. Penggunaan fulus tersebut pernah pula menyebabkan inflasi yang parah pada era Dinasti Mamluk di Mesir karena mencetak fulus terlalu banyak yang menggantikan uang emas dan perak di masyarakat karena bahan bakunya yang murah sehingga mudah untuk dicetak, walau model sistem keuangannya tidak mengadopsi sistem ribawi.[1]

Apalagi sekarang penggunaan uang kertas mulai dikurangi dengan beredarnya uang elektronik yang mana kita tidak bisa melihat, mencium, memegang bentuk fisik uang tersebut, karena uang ini hanyalah angka-angka maya di layar komputer, tentu lebih rentan lagi daripada uang kertas berbentuk fisik.

Kisah Uang Kertas Kondisi Baikpun Bisa Kadaluarsa
Tulisan berikut ini adalah sebuah kisah ironis tentang uang rupiah yang Kami kutip dari sebuah situs media online, tentang bagaimana uang kertas fiat saat ini ternyata memang tidak bisa menjadi uang yang baik yang berfungsi sebagai penyimpan nilai atau kekayaan untuk digunakan di masa depan.

Pikirkan kembali bila anda ingin menyimpan uang kertas rupiah, karena memiliki masa kadaluwarsa yang singkat sebagaimana regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI).

Regulasi tersebut bernama Peraturan BI No. 2/18/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang Pencabutan dan Penarikan Uang Kertas Pecahan: Rp 10.000 emisi 1992, Rp 20.000 emisi 1992, 1995, Rp 50.000 emsi 1993-1995.

Dalam  Pasal 4, menyebutkan bahwa: hak untuk menuntut penukaran uang kertas tersebut tidak berlaku lagi setelah 10 tahun sejak tanggal pencabutan atau sejak tgl. 20 Agustus 2010.

Peraturan ini kurang disosialisasikan kepada masyarakat sehingga memakan korban kerugian di pihak masyarakat yang masih menyimpan dan memiliki uang kertas tersebut.

Kebijakan ini sebenarnya melanggar UUD 1945 pasal 28H ayat (4): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Seperti kasus kepemilikan uang lama yang di tolak BI menimpa warga, kita sebut saja Pak Ode (beliau minta namanya samaran). Bapak paruh baya dari Kalimantan Tengah ini, beberapa waktu yang lalu beliau datang ke kantor pusat BI di Jl Thamrin, Jakarta, untuk menukar uang kertas Rupiah lama emisi 1993-1995.


Jumlahnya sekitar Rp 850 juta, uang didominasi oleh lembaran Rp 50.000,- bergambar Bapak Soeharto "senyum".

Sesampainya di kasir penukaran uang lama BI, uang Rupiah lama tersebut ditolak dan dinyatakan "Worthless", tidak dapat ditukar lagi.

Pak Ode menuturkan bahwa “ pada tahun 1998, orang tuanya menjual tanah dan mendapatkan pembayaran dengan uang kertas tersebut, karena memang masih berlaku saat itu.

Namun  karena orang tuanya sudah pikun, ia menyimpannya di sebuah lemari rahasia, tapi lupa diberitahukan kepada anak-anaknya.

Ketika orang tua Pak Ode ini wafat di awal Desember 2010, keluarga Pak Ode menemukan uang lama itu.

Maka ia kemudian berusaha menukarkannya di BI Kalimantan Tengah. Oleh petugas BI di sana, uang tersebut ditolak, dan akhirnya beliau disarankan untuk menukarnya di kantor pusat BI, Jl Thamrin, Jakarta. Apa daya, BI pusat pun menolaknya.

Karena uang Rupiah tersebut ditolak BI, maka harapan keluarga Pak Ode untuk bisa menggunakan warisan tersebut pupus.

Akhirnya Pak Ode bertemu dengan Kolektor Numismatik Indonesia yang menganjurkan untuk menjual uang-uang lama itu hanya sebagai barang koleksi. Tapi tentu saja harganya jauh di bawah nominal.

Uang Rp 850 juta tersebut hanya ditawar oleh seseorang dengan harga Rp 10 juta saja. Kejadian serupa juga masih terus berlangsung hingga hari ini, dan semakin banyak orang yang mengalaminya.[2]

Dari kisah tersebut di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa uang fiat sekarang inipun, nilainya hilang bukan hanya sekedar karena inflasi tapi juga karena peraturan undang-undang yang semena-mena yang dengan mudah menghilangkan kekayaan hasil kerja keras atau jerih payah seseorang. Dalam literatur Islam sendiri larangan mengurangi nilai timbangan seperti inipun sudah ada dalam Al-Qur'an:

"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, Tidak ada ilah (sembahan) bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman"."(QS. Al-A'raf (7): 85).

Selain daripada itu ada sebuah kisah menarik juga dalam Al-Qur'an tentang para pemuda penghuni goa yang tertidur selama 300 tahun syamsiah (perhitungan matahari) atau 309 tahun qomariah (perhitungan bulan).

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.(QS. AL-Kahfi (18):19).

Dalam terjemahan ayat tersebut salah seorang pemuda goa diutus untuk membeli makanan ke kota dengan uang perak (wariq) yang dimilikinya, padahal mereka sudah tidur selama sekitar 300 tahun, pertanyaannya adalah apakah uang mereka kadaluarsa alias tidak berlaku? Dari sini Kita mendapat pelajaran bahwa uang yang baik bukanlah uang fiat seperti yang digunakan saat ini yang mudah semena-mena dipermainkan nilainya bahkan dihilangkan sama sekali seperti kasus uang lama yang ditolak bank sentral, padahal mereka sendiri yang mengeluarkannya dan juga bukan uang palsu. Selain menggunakan istilah Wariq sebagai mata uang perak, di dalam Al-Qur'an ada juga istilah lain, yaitu Dinar (QS. Ali-Imran [3]:75) dan Dirham  (QS. Yusuf (12):20) untuk menunjukkan mata uang emas dan perak.[3]

Dan satu hal lagi, telah disebutkan di awal tulisan ini, bahwa uang komoditas tidak perlu dijamin nilainya melalui peraturan undang-undang  yang dibuat otoritas bahwa uang komoditas ini sebagai uang yang sah yang bernilai, karena fitrah manusia yang akan menilai sendiri apakah uang komoditas tersebut bernilai atau tidak. Jadi, Walaupun semisal muncul peraturan undang-undang yang melarang pembayaran dengan uang komoditas seperti emas, perak atau sembako, Kami yakin masih banyak orang-orang di dunia saat ini yang mau dibayar dengan uang komoditas tersebut, sekalipun dilarang pemerintah. Maka jika sekarang ada kebijakan bank sentral untuk melarang masyarakat bertransaksi dengan komoditas sebagai alat bayar pengganti uang fiat kertas, menurut Kami hal itu adalah sia-sia belaka.[4]

Uang Mainan Keluaran Bank Sentral
Dari penjelasan panjang di atas dapat dipahami bahwa uang kertas yang digunakan saat ini bisa dianggap asli atau bernilai sebagai alat pembayaran yang sah bergantung dari peraturan pemerintah melalui bank sentral. Artinya apabila ada percetakan uang kertas yang mampu memproduksi uang dengan model yang sama dengan keluaran bank sentral namun memiliki kwalitas cetakan jauh lebih baik dan lebih awet, apakah uang ini berlaku? Tentu saja tidak, uang tersebut akan disebut palsu walaupun jika ongkos produksi uang palsu berkwalitas baik tersebut lebih mahal dari ongkos mencetak uang keluaran bank sentral. Hal ini tentu berbeda jika uang komoditas yang dipakai, karena emas dengan kadar 24K tentu lebih bernilai daripada emas kadar 18K atau 20K, begitu juga gandum atau beras berkwalitas baik tentu lebih bernilai atau lebih mahal dari gandum atau beras berkwalitas rendah, terlepas siapa yang memproduksi komoditas tersebut.

Namun ada hal aneh yang terjadi, di mana pihak percetakan swasta yang tidak ditunjuk bank sentral tidak boleh membuat uang sendiri, namun larangan ini tidak berlaku bagi bank swasta. Apa benar? Ya, bank swasta bisa mencetak uang sendiri walau bukan dalam bentuk uang kertas namun dalam bentuk uang elektronik. Uang ini tercipta karena sistem fractional reserve dan bunga yang dijalankan pada perbankan. Itulah makanya tidak boleh terjadi adanya rush atau penarikan uang nasabah suatu bank secara besar-besaran karena dipastikan uang fisik yang tersedia di bank tidak akan mencukupi, ini karena uang yang terlihat di rekening nasabah hanya merupakan uang elektronik yang hanya bisa digunakan di tempat-tempat menerima transaksi uang elektronik via kartu debit atau kredit semata.

Jadi uang kertas keluaran bank sentral ini hakekatnya tidak berbeda jauh dengan uang mainan yang sering di pakai anak-anak untuk bermain, seperti seri uang rupiah mainan bertema Angry Birds. Bedanya uang kertas keluaran bank sentral dipaksa menjadi uang asli untuk alat pembayaran yang sah karena peraturan undang-undang.

Tapi bagi para pembaca yang sudah memiliki uang mainan seperti uang rupiah seri Angry Birds tersebut jangan berkecil hati, siapa tahu suatu hari nanti ketika pemimpin pemerintahan dan pengurus bank sentral telah berganti, uang mainan Angry Birds disahkan melalui peraturan undang-undang sebagai alat pembayaran yang sah, artinya uang mainan tersebut disulap menjadi uang asli yang bernilai! Jadi siapa yang mau menabung banyak  uang mainan tersebut dari sekarang? Hehehe...

sumber:
[1]islamhariini.com
[2]pelitaonline.com
[3]islamhariini.com
[4]finance.detik.com
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HotSpot Murah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger