Home » » Buruh Dan Pedagang Kecil Teriak, Saatnya Masyarakat Beraksi!

Buruh Dan Pedagang Kecil Teriak, Saatnya Masyarakat Beraksi!

Written By Unknown on Tuesday 29 January 2013 | 18:07

Beberapa waktu belakangan ini Kita sudah sering mendengar berita di media bahwa kaum buruh dari berbagai wilayah di Indonesia berkali-kali melakukan aksi demonstrasi, yang tujuan utamanya adalah meminta kenaikan gaji atau upah yang sering disebut UMR atau UMP, selain itu juga untuk menghapus sistem pekerja outsourcing.

Isu ini sudah terjadi berulang-ulang kali dan berjalan sudah bertahun-tahun tanpa penyelesaian akhir yang memuaskan semua pihak. Mungkin mindset yang berbeda dari masing-masing pihak yang akhirnya tidak bisa mempertemukan antara keinginan keduanya. Hal ini ditambah lagi  dengan semangat  kedua belah pihak yang sepertinya sudah terinfiltrasi dengan pemikiran paham seperti sosialisme, komunisme, liberalisme, maupun kapitalisme yang mempengaruhi pikiran dan sepak terjang beberapa komponen di kedua belah pihak termasuk regulator atau pemerintah itu sendiri yang mengakomodasi sistem tersebut.

Selain masalah perburuhan, ada lagi masalah lain yang tidak kalah penting yang seperti isu di atas adalah permasalahan para pengusaha mikro seperti pedagang kecil atau PKL. Penggusuran atau pengusiran paksa para pedagang kecil sudah seringkali terjadi dengan berbagai macam alasan, namun sayangnya solusi yang diberikan pemerintah tidak sesuai yang diharapkan para pedagang, misal salah satunya seperti tempat sewa yang mahal, atau pungutan lain yang memberatkan pedagang.

Lalu apa yang bisa diperbuat para buruh, pedagang kecil, pengusaha, masyarakat secara umum untuk mengatasi masalah ini? Jika Kita terlalu berharap pada pemerintah saat ini, sepertinya sulit karena pemerintah sendiri mengadopsi sistem ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada korporasi perbankan ribawi yang ekploitatif. Mengharapkan sistem-sistem modern yang saat ini diadopsi baru beberapa dekade belakangan supaya bisa menyelesaikan masalah di atas secara tuntas, Kami pikir hal itu hanyalah utopia belaka. Peradaban negeri-negeri muslim dalam sejarah yang telah berjalan ratusan tahun sudah mempraktekkan sistem sosial kemasyarakatan termasuk dalam hal perekonomian dengan menorehkan tinta emas. Sistem sosial kemasyarakatan ini disebut dengan istilah muamalah. Salah satu bagian dari muamalah adalah mengatur model perdagangan Islam atau istilah lain sekarang sering disebut ekonomi syariah.

Namun ekonomi syariah saat ini cenderung identik dengan institusi keuangan modern yang mengadopsi sistem muamalah, seperti bank syariah, asuransi syariah, baitul mal wattanwil (termasuk koperasi syariah). Padahal pilar-pilar perdagangan Islam (muamalah) tidak bergantung dengan ada atau tidak adanya institusi-institusi tersebut di masyarakat. Dalam sejarah ada lima pilar perdagangan Islam yang saling terkait, yaitu: uang komoditas dinar emas dan dirham perak, pasar terbuka, karavan dagang, paguyuban usaha, dan kontrak perjanjian usaha.[1]

Pada tulisan di sini Kami mencoba untuk mengkolaborasi sedikit poin-poin dari lima pilar di atas yang bisa menjadi solusi ataupun revolusi terhadap permasalahan yang saat ini masih terus terjadi seperti disebutkan di awal tulisan ini.

Paguyuban Mencetak Pegawai Menjadi Pengusaha Mandiri
Secara singkat pengertian paguyuban adalah perkumpulan para pekerja ahli yang juga diikuti oleh para pemagang yang sambil belajar juga melakukan pekerjaan bersama secara horisontal dengan dasar persaudaraan karena Allah. Tidak ada biaya yang dikenakan bagi para pemagang dan juga tidak ada upah bagi para ahli untuk mengajarkan keahliannya. Bahkan pemagang malah bisa memperoleh uang dari keahliannnya membantu para ahli yang mempunyai pekerjaan atau keahlian tertentu, dan juga para ahli bisa memperoleh manfaat dari keahlian para pemagang untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Para pemagang di paguyuban bukan hanya belajar keahlian di bidang tertentu saja tapi langsung belajar juga dari mulai cara menjual produk dan jasanya kepada pembeli, perancangan produksi, proses pembuatan, pengemasan produk, produk akhir dan layanan purna jual. Dan juga para pemagang ini juga belajar bagaimana adab-adab dalam berhubungan dengan majikan, bawahan, mitra kerja dan konsumen. Adab ini jauh lebih penting dari keahlian yang dipelajari, maka para ahli bisa ditinggalkan oleh para pemagang seandainya tidak mempunyai adab-adab yang sesuai syar’i.

Setelah mengalami masa belajar di paguyuban, para pemagang ini bisa langsung menjadi pedagang mandiri yang langsung bisa menjual produk dan jasanya di Pasar Islam atau bisa juga memilih untuk bekerja kapada orang lain dengan sistem upah atau bisa juga menjadi pekerja lepas dengan basis proyek atau pekerjaan.

Paguyuban adalah sekaligus tempat riset dan pengembangan baik dari sisi keahlian maupun dari sisi produk. Keahlian dan produk hasil riset ini bisa langsung dijual di Pasar Islam tanpa harus menunggu permodalan, pemasaran dan sistem distribusi tertutup yang telah dikuasai oleh segelintir orang (oligarki kapitalis).[2]

Bukan Pertarungan Kelas Majikan-Buruh Atau Kaum Bourjuis-Proletar
Dengan adanya suatu wadah dalam masyarakat dalam bentuk paguyuban usaha, maka munculnya kelas-kelas dalam model sistem ekonomi kapitalis atau sosialis seperti buruh-majikan atau istilah lain kaum bourjois dan proletar yang menurut mereka secara alamiah saling bertarung satu sama lain, tidak boleh terjadi. Dalam model ekonomi yang sesuai syariah seharusnya kelas-kelas yang timbul ini bisa diminimalisir atau dihilangkan jurang perbedaannya. Sangat disayangkan jika institusi syariah hanya menggunakan istilah-istilah muamalahnya saja, namun dalam prakteknya, semangat dan sistem yang dijalani tidak berbeda jauh dengan model ekonomi kapitalistik.


Hubungan di dalam sebuah paguyuban ini lebih daripada sekedar gaji, pemagang diajari untuk menjadi seorang majikan. Ketika saatnya tiba, sang majikan memberikan reputasinya, ijin untuk menggunakan peralatannya, pelanggannya, pengetahuannya, ruang kerjanya kepada pemagang atau sekelompok pemagang untuk mulai mandiri. Jadi kita menghasilkan usaha baru tanpa si pemagang harus pergi dan meminjam untuk membeli peralatan, ruang kerja, menarik pelanggan, promosi supaya dikenal, dll.

Dengan sistem seperti ini bisa dengan cepat menggandakan usahanya. Paguyuban mendorong orang yang bekerja memberikan pemecahan kepada orang yang tidak bekerja dan melepaskan kebutuhan modal dari rentenir. Di dalamnya akan membentuk kontrak-kontrak usaha seperti mudharabah, syirkah, dan yang lain. Para pegawai tidak akan selamanya menjadi buruh, sebagai mesin yang selalu bekerja di level bawah industri kapitalis.

Adanya paguyuban-paguyuban usaha ini akan muncul banyak pengusaha-pengusaha baru, inovasi-inovasi baru di masyarakat tanpa khawatir akan dihukum karena melanggar hak paten atau mesti membayar royalti. Kondisi ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi munculnya pengangguran yang banyak, karena dengan banyak pengusaha baru otomatis akan muncul lapangan kerja baru.

Di dalam wadah paguyuban tersebut, idealnya harus memiliki dasar-dasar berikut[3]:
  • Keyakinan bahwa Allah-lah yang memberikan rizki, melebihkan dan mengurangkan dengan rahmat-Nya.
  • Persaudaraan yang kuat di dasarkan kepada Allah.
  • Mujahadah adalah berjuang dengan sungguh-sungguh.
  • Kerja adalah sebuah bentuk ibadah kepada Allah.
  • Pendidikan Muslim yaitu ilmu (pengetahuan) yang harus dibagi untuk membebaskan orang-orang dari kebodohan dan keterbelakangan.
  • Menyampaikan ilmu kepada orang lain maka pahala akan mengalir dan ilmunya akan ditambah oleh Allah. Jadi Islam tidak mengenal monopoli dan sewa atas ilmu.
  • Kerjasama horisontal dengan adanya akad-akad qiradh, syirkah, ijarah, ariyah antar anggota paguyuban.
  • Wakaf. Sumbangan anggota Paguyuban itu sendiri dan dari masyarakat muslim.
Wakaf Pasar
Sedangkan solusi bagi para pedagang kecil atau para pegawai atau buruh yang baru mulai mencoba menjadi pedagang atau pengusaha termasuk juga paguyuban ini akan bisa berjalan tentu harus mempunyai tempat atau wadah dimana mereka bisa mempromosikan produk-produk mereka di masyarakat di sebuah pasar bebas. Di mana pasar ini terbuka bagi siapa saja, pedagang besar atau kecil bisa mempromosikan produknya tanpa aturan-aturan diskriminasi yang hanya menguntungkan para pemilik modal besar saja. Pasar-pasar terbuka yang sesuai muamalah saat ini sayangnya hanya tinggal bekas-bekasnya saja, digantikan oleh pasar-pasar modern seperti mal, supermarket, ataupun pasar tradisional yang diubah dengan konsep modern yang hanya bisa ditempati oleh para pemilik modal besar. Hanya mereka yang sanggup membayar sewa atau membeli tempat saja yang mendapat tempat di pasar modern tersebut.

Padahal dalam sejarah, nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh memberikan pasar sebagai wakaf kepada umatnya sebagaimana masjid. Yang mana di dalam wakaf pasar ini tanpa ada diskriminasi, pungutan sewa dan pajak dan tanpa klaim tempat permanen di pasar. Tidak boleh dijual karena merupakan tanah wakaf.

Apabila wakaf-wakaf pasar ini telah menjamur di berbagai tempat di komunitas masyarakat, diikuti dengan munculnya pedagang-pedagang yang berinteraksi dengan konsumen, secara alamiah akan berlanjut terciptanya paguyuban-paguyuban usaha yang di dalamnya ada kontrak-kontrak kerja tanpa riba antar komponen masyarakat.  Ditambah lagi, di pasar-pasar ini seharusnya menggunakan uang komoditas seperti dinar emas dan dirham perak maupun komoditas lain, yang didasari atas sukarela, berputar dari tangan ke tangan dalam seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali, maka diharapkan kesenjangan antar majikan dengan buruh ataupun pengusaha besar dengan pengusaha kecil semakin sempit, tidak seperti kondisi sekarang ini.

Semoga Kita semua mampu menjadi pion-pion perubahan untuk mengentaskan permasalahan yang terjadi di kehidupan ekonomi sosial di jaman sekarang ini.

sumber:
[1]dinarfirst.org
[2]islamhariini.com
[3]idem
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HotSpot Murah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger