Home » , » Mengenal Social Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial)

Mengenal Social Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial)

Written By Unknown on Tuesday 12 March 2013 | 08:40

Belakangan kita sering mendengar istilah Social Entrepreunership yang berkaitan dengan pengusaha dan bisnis. Apa itu Social Entrepreunership?

Pengertian Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) [1]

ilustrasi dari forbes.com
Social Entrepreunership atau bisa kita terjemahkan Kewirausahaan sosial menurut pengertiaannya adalah melihat atau mengidentifikasi masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat. Mereka seperti seseorang yang sedang menabung dalam jangka panjang karena usaha mereka memerlukan waktu dan proses yang lama untuk dapat terlihat hasilnya.

Wirausaha sosial menjadi fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaan-perbedaannya dengan wirausaha tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan pelanggan serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat. Kajian mengenai kewirausahaan sosial melibatkan berbagai ilmu pengetahuan dalam pengembangan serta praktiknya di lapangan. Lintas ilmu pengetahuan yang diadopsi kajian kewirausahaan sosial merupakan hal penting untuk menjelaskan serta membuat pemikiran-pemikiran baru.

Karakteristik Social Entrepreneur Menurut Tokoh-Tokoh Modern [2]

Terdapat beberapa pembelajaran tentang kewirausahawan sosial beserta beberapa karakteristik yang dimiliki oleh para usahawan (pengusaha) sosial itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari penelitian mengenai kewirausahaan sosial terbagi menjadi beberapa grup sosial sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.

Hal ini pada dasarnya terdiri dari hal-hal yang tidak umum untuk dilakukan dalam kegiatan usaha yang biasanya berjalan secara rutin. Austin Stevenson dan Wei-Skillern berpendapat bahwa usahawan sosial dan tradisional berbeda dengan pengusahanya sendiri, metode, situasi, dan peluang. Tujuan utama dari usahawan sosial adalah melayani kebutuhan dasar masyarakat, sementara usahawan tradisional adalah untuk meraih pasar yang besar kesenjangan dan memperoleh keuntungan, dalam proses bertaraf minimum untuk kepentingan masyarakatnya.

Paul C Light mengamati berbagai definisi yang ada usahawan sosial dan memberikan definisi yang luas yang menganggap bahwa usahawan sosial adalah individu, kelompok, jaringan, organisasi atau aliansi. Tapi berupaya secara berkelanjutan melalui ide-ide yang berbeda untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang signifikan. Lynn Barendsen dan Howard Gardeber menjelaskan bahwa Pemimpin yang baru sebagai pemimpin yang sadar akan kewajiban mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal yang sifatnya positif. Gillian et al. berpendapat bahwa hanya keterampilan saja tidak membuat kewirausahaan dapat dikatakan sebagai seorang pengusaha sosial. Sebaliknya seorang pengusaha sosial juga memerlukan persimpangan virtuousness, kesempatan sosial, pengakuan, dapat menghakimi, bersifat toleransi, dan inovasi.

Sarah H Alvord membuat analisis komparatif dari tujuh kasus kewirausahaan sosial yang secara luas telah diakui sebagai sesuatu yang dianggap sukses. Mereka mengenali perbedaan-perbedaan dalam bentuk tujuh organisasi yang memperkenalkan inovasi. Thomson mendefinisikan pengusaha sosial sebagai orang-orang dengan sikap pengusaha bisnis, tetapi beroperasi di masyarakat. Mereka bertindak lebih sebagai pengasuh dari masyarakat dan bukan sebagai pengusaha yang dengan mudah menghasilkan uang. Gregory Dees mengidentifikasikan pengusaha sosial sebagai pengusaha yang langka. Dia menggambarkan satu set ciri-ciri luar biasa pengusaha sosial dengan menekankan bahwa masyarakat harus mendorong dan memberi balasan kepada orang dengan kemampuan yang sifatnya unik.

Hal ini tentunya sangat bergantung kepada bagaimana isi dari gagasan yang kita tawarkan, pada dasarnya agar gagasan serta ide yang kita tawarkan bisa diterima oleh masyarakat kita harus memiliki misi sosial di dalamnya semata-mata hanya untuk membuat masyrakat dapat terbebaskan dari permasalahan yang terjadi. Dalam pelaksanaan pengimplementasian gagasan tersebut pastinya kita akan mendapatkan banyak sekali permasalahan, seorang jiwa usahawan sosial (social entrepreneur) harus mempunyai kemampuan pengelolaan risiko (risk management) agar dapat menuntaskan apa yang menjadi idenya tersebut. Kemampuan mengelola risiko ini merupakan suatu hal yang penting agar kita dapat memastikan bahwa program yang ditawarkan berjalan secara berkelanjutan.

Sejarah Kewirausahaan Sosial

Istilah social entrepreneurship digunakan pertama dalam literatur mengenai perubahan sosial di tahun 1960-an dan 1970-an. Istilah ini mulai digunakan secara luas pada 1980-an dan 1990-an, dipromosikan oleh Bill Drayton pendiri Ashoka: Inovator untuk Publik, dan lain-lain. Dari tahun 1950 hingga 1990-an Michael Young, promotor terkemuka perusahaan sosial dan pada tahun 1980 digambarkan oleh Profesor Daniel Bell di Harvard sebagai 'pengusaha paling sukses di dunia kewirausahaan sosial 'karena perannya dalam menciptakan lebih dari enam puluh organisasi baru di seluruh dunia, termasuk Sekolah Pengusaha Sosial (SSE) yang ada di Inggris, Australia dan Kanada dan dia juga mendukung individu untuk mewujudkan potensi mereka dan sekaligus untuk mendirikan, menimbang dan mempertahankan, perusahaan dan bisnis sosial. Dan masih ada wirausahawan sosial lainnya.[3]

Walaupun Istilah Social Entrepreneurship ini relatif baru dikenal, namun sebenarnya ide yang terkandung dalam istilah tersebut merupakan sebuah konsep lama, bisa jadi sejak munculnya peradaban manusia yang bersosial terhadap lingkungannya, untuk berbagi dan memakmurkan lingkungan sekitarnya. Intinya adalah untuk berbagi manfaat. Hal ini bisa juga kita lihat dalam literatur agama samawi seperti dalam Islam.

Dalam literatur Islam, nabi Muhammad S.A.W. sendiri diutus ke dunia untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Q.S. Al-Anbiyaa:107). Pengertian tersebut bisa diterjemahkan bahwa misi beliau bukan hanya semata-mata membawa agama yang berisi ritual penyembahan terhadap Tuhan yang Esa, namun kebih daripada itu membawa sistem kehidupan manusia (way of life) yang komprehensif. Hubungan interaksi antar manusia termasuk didalamnya adab terhadap lingkungan alam sekitar juga diatur, yang disebut dengan istilah "mu'amalah", yang berisi syari'at (aturan) hubungan sosial antar sesama manusia,  termasuk alam (seperti hewan dan tanaman).

Dalam mu'amalah yang berkaitan dengan mencari harta diatur cara dan etika bagaimana mencari harta yang halal dan memakmurkan bumi (masyarakat dan lingkungan). Contoh dalam Islam menghalalkan jual-beli (perdagangan), mewajibkan zakat, menganjurkan infaq, sedekah, hadiah, wakaf, membantu orang yang berhutang, dan yang lainnya, dan juga melarang mengambil harta secara bathil seperti mencuri, mengurangi timbangan (curang), riba, judi, gharar, dan sejenisnya. Cukup banyak dalil-dalil dalam al-Qur'an dan hadits nabi yang membahas tentang mu'malah ini.

Berkenaan dengan tema social enterpreneurship, ada sebuah hadits dalam literatur Islam yang bisa kita petik pelajaran kebijaksanaan dalam mengelola usaha dan bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah S.A.W. bersabda:

Ketika seorang laki-laki berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar sebuah suara di angkasa, “Berilah air pada kebun si Fulan!” Awan itu pun bergerak lalu mencurahkan airnya di satu bidang tanah yang berbatu hitam. Ternyata saluran air dari beberapa buah jalan air yang ada telah menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti air itu. Ternyata dia sampai kepada seorang pria yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.

Laki-laki tadi berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”

Petani itu menjawab, “Nama saya Fulan.” Dia menyebutkan nama yang tadi didengar oleh lelaki pertama dari angkasa.

Si petani bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, mengapa Anda menanyakan nama saya?”
Kata lelaki itu, “Sebetulnya, saya tadi mendengar sebuah suara di awan yang airnya baru saja turun dan mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ menyebut nama Anda. Apakah yang Anda perbuat dengan kebun ini?”

Petani itu berkata, “Baiklah, kalau Anda mengatakan demikian. Sebetulnya, saya selalu memerhatikan apa yang keluar dari kebun ini, lalu saya menyedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga saya, dan sepertiga lagi saya kembalikan (untuk modal cocok tanam)….”

Dengan sanad hadits ini juga, dari Wahb bin Kaisan sampai kepada Abu Hurairah ra, tetapi (dalam riwayat ini) petani itu berkata, “Saya mengalokasikan sepertiganya untuk orang miskin, peminta-minta, dan para perantau (ibnu sabil).”

Perhatikanlah bagaimana Allah menggiring rezeki untuk manusia, binatang ternak, burung-burung, tanah, dan gunung-gunung, kemudian rezeki itu sampai kepadanya karena besarnya kebutuhan mereka, pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Perhatikanlah bagaimana Allah menundukkan angin agar menggiring awan sampai turun hujan. Di dalam hadits ini dijelaskan keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang miskin dan ibnu sabil. Dijelaskan pula keutamaan seseorang makan dan memberi nafkah kepada keluarga dari hasil usahanya sendiri. Di sini, petani itu memisahkan sepertiga hartanya untuk keluarga, sepertiga yang kedua untuk sedekah, dan sepertiga berikutnya untuk modal menanam lagi.[4]

Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa apapun yang kita usahakan dan kita berikan kepada lingkungan akan mendapat imbal balik dari lingkungan sekitar kita pula yang setimpal. Jadi apabila kita memberikan nilai positif kepada lingkungan sekitar maka nilai positif itu akan kembali kepada diri sendiri, begitu pula sebaliknya, hal ini adalah sunnatullah. Istilah tersebut mungkin mirip dengan istilah dalam Hindu yang sering disebut "hukum karma", atau istilah lain di masyarakat umum disebut hukum alam.

Memasyarakatkan kembali Social Entrepreneurship

Setelah kita tahu bahwa kewirausahaan sosial ini adalah ide yang telah lama ada, lalu kenapa seakan-akan ide tersebut seperti sebuah ide baru yang belum pernah ada sebelumnya, padahal sejak lampau ide ini sudah ada dalam peradaban masyarakat dunia? Mungkin kita bisa sedikit menjawab adalah karena sistem yang diadopsi mayoritas peradaban dunia saat ini semenjak beberapa dekade lalu berkiblat kepada sistem kapitalistik yang ditopang lembaga keuangan perbankan ribawi yang cenderung ekploitatif kepada manusia dan juga lingkungan karena hanya berorientasi kepada manfaat penggandaan kapital (modal). Makanya sering kita mendengar slogan "time is money" atau "waktu adalah uang" yang memberi semangat bahwa segala waktu kehidupan manusia adalah sebuah kesempatan bernilai untuk mendapatkan keuntungan materi (uang).

Sistem ekonomi inipun berimbas ke pendidikan yang akhirnya mempengaruhi kurikulum pendidikan, khususnya pandangan tentang sistem global yang sedang berjalan. Sehingga sadar atau tidak sadar hasil dari pendidikan tersebut manghasilkan individu-individu yang mendukung sistem ekonomi status quo. Sehingga kebijaksanaan dalam sejarah masa lalu seakan tidak pernah ada dalam perjalanan manusia.  Hal ini umumnya terjadi dalam pendidikan mainstream negara modern.

Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat sadar, bahwa kondisi yang memprihatinkan sekarang ini harus diubah sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain dalam bentuk berbagi manfaat. Salah satu caranya seperti yang sedang dilakukan komunitas-komunitas di seluruh dunia yang sedang membangkitkan semangat social entrepreneurship di wilayahnya masing-masing, agar kehidupan manusia dan lingkungan di masa depan jauh lebih baik daripada sekarang ini.

sumber:
[1]wikipedia
[2]idem (1)
[3]idem
[4]asysyariah.com
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HotSpot Murah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger